Selasa, 07 Juli 2009

KEMENANGAN BESAR

KEMENANGAN BESAR
(TAHUN KE-6 HIJRIYAH)

Dalam tahun ke-6 Hijriyah tercapailah kesepakatan untuk membuat perjanjian antara para pemimpin kaum kafir Makkah dengan Nabi Muhammad (SAW) di sebuah wilayah bernama Hudaibiyah yang terletak diluar kota Makkah. Tempat ini sekarang benama Syamisah. Banyak butir-butir kesepakatan dalam perjanjian ini yang sepintas tampak merugikan Muslim dan membingungkan bagi sebagian sahabat Rasulullah. Namun, hal ini kemudian berubah membuahkan kemenangan luar biasa bagi Ummat Islam dan sekaligus membuktikan bahwa Rasulullah (SAW) sangat bijak dalam pemikiran dan berwawasan jauh ke depan.

Perjanjian ini juga memberikan bukti bahwa:

1. Musuh-musuh Allah (SWT) merencanakan tipu daya dan Allah (SWT) pun merencanakan. Dan sesungguhnya Allah (SWT) adalah yang Terbaik dalam merencanakan. Surah Al-Anfal, Ayat-30.

Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.

2. Nabi Muhammad (SAW) tak pernah mengatakan sesuatu hal yang religius melainkan itu telah diwahyukan Allah (SWT) kepada beliau. Surah An-Najm, Ayat 3-4

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

3. Allah (SWT) telah memuliakan para sahabat Rasulullah (SAW) karena Dia telah mengetahui ketulusan mereka dan apa yang menjadi isi hati mereka. Allah (SWT) telah memasukkan ketenangan dan kesabaran kedalam hati mereka dikala menghadapi saat-saat kritis dan membingungkan dan menjadikan mereka condong untuk berlaku santun dan bersahaja di saat-saat sedemikian genting. Allah (SWT) memberikan penghargaan tinggi terhadap kualitas mereka dan telah mengabarkan balasan atas mereka untuk generasi-generasi setelahnya. Surah Al-Fath, Ayat-26:

dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya.

Oleh sebab itu, sangat mengherankan bagi saya bahwasanya sebagian orang berani mengatakan hal-hal yang tak sepatutnya mereka tujukan kepada beberapa sahabat Rasulullah (SAW) sedangkan Allah (SWT) jelas-jelas menyatakan pujian-Nya terhadap mereka didalam Al-Qur'an.

Sekarang, marilah kita telusuri rangkaian peristiwa yang berlangsung kala itu. Para penyembah berhala di Makkah telah mengusir Rasulullah (SAW) dan para sahabat dan pengikut beliau dari kampung halaman mereka sendiri di Makkah hanya karena sebuah alasan yakni, karena mereka menyembah Tuhan Yang Esa. Kaum kafir itu juga menyulut tiga peperangan besar melawan orang-orang mukmin (Badar, Uhud dan Ahzab) dengan tujuan mengenyahkan ummat Islam dari permukaan bumi. Sementara itu, Rasulullah (SAW) memperoleh mimpi bahwa beliau dan para sahabat sedang berada di Makkah dalam rangka ibadah Umrah. Namun demikian tidak cukup jelas kapan terjadinya peristiwa (didalam mimpi) itu. Rasulullah (SAW) pun menceritakan perihal mimpi beliau ini kepada para sahabat di Madinah. Karena mimpi Rasulullah (SAW) selalu benar, maka beliau memaklumatkan persiapan perjalanan ibadah Umrah. Bahkan penduduk desa-desa disekitar Madinah pun diajak serta.

Sebagian besar orang-orang dusun itu tidak bersedia, malahan meniupkan kabar bahwa Rasulullah (SAW) bermaksud membawa mereka kedalam peperangan melawan kaum Quraisy Makkah yang begitu perkasa, karena beliau bermaksud menjerumuskan mereka dalam kehancuran. Alqur’an Surah Al-Fath ayat-12:

Tetapi kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan setan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa.

Rasulullah (SAW) berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk ibadah Umrah bersama 1400 sahabat. Mereka telah berpakaian Ihram dan membawa binatang ternak untuk korban. Manakala rombongan telah mencapai pinggiran kota Makkah, mereka dapati kaum kafir dengan persenjataan lengkap menghentikan perjalanan mereka dan melarang mereka memasuki Makkah. Khalid bin Walid; yang pada waktu itu belum beriman; dengan pasukannya telah siap menyerang rombongan Muslimin dan mereka juga telah menduduki tempat-tempat yang terdapat mata air.

SATU MUKJIZAT

Nabi Muhammad (SAW) menghindar dari Khalid bin Walid menuju tempat yang tidak terdapat air.

Beliau menemukan sebuah sumur yang masih ada bekas jejak air di dasarnya. Beliau masukkan sedikit air ke mulut beliau lalu disemburkannya kedalam sumur, lalu beliau minta salah seorang sahabat untuk membidikkan anak panah beliau (SAW) ke dasar sumur. Para sahabat pun kemudian menyaksikan air memancar dari dasar sumur itu sampai setinggi bibir sumur. Maka rombongan Muslimin pun mengisi penuh tempat-tempat air mereka dan mendirikan shalat Dzuhur. Khalid bin Walid berkata kepada pasukannya, “Kita telah menyia-siakan kesempatan emas.

Seharusnya tadi kita serang mereka selagi mereka sibuk shalat. Kita akan serang mereka di waktu mereka mengerjakan shalat berikutnya.” Pada waktu itu Allah (SWT) pun mewahyukan petunjuk-Nya kepada Muslimin perihal tata-cara mendirikan shalat sewaktu dalam keadaan bahaya semisal perang.

Shalat semacam ini disebut Shalatul-Khauf.

UTSMAN (RA) YANG DIHORMATI

Utsman (RA) adalah sosok yang dihormati oleh kalangan mukminin maupun oleh orang-orang kafir. Rasulullah (SAW) mengutusnya sebagai duta Mukminin ke Makkah, dalam rangka memberikan penjelasan kepada para pemimpin kafir Quraisy bahwasanya kedatangan rombongan Mukminin adalah untuk melaksanakan ibadah Umrah, bukannya untuk berperang melawan mereka. Orang-orang Quraisy telah mengambil keputusan bahwa mereka melarang orang-orang Muslim memasuki kota Makkah.

Namun mereka mengijinkan Utsman (RA) mengerjakan Umrah. Utsman (RA) pun berkata," Aku tak kan berumrah kecuali Rasulullah (SAW) mengerjakannya." Kaum Quraisy menempatkan limapuluh orang pasukan mereka pada jarak yang begitu dekat dengan rombongan Muslim agar bila ada kesempatan mereka bisa dengan mendadak menyerang Nabi (SAW). Namun, Muhammad bin Muslima (RA), pengawal Beliau (SAW), berhasil menangkap limapuluh orang itu dan menghadapkan mereka kepada Nabi (SAW). Begitu kejadian ini diketahui oleh orang-orang Quraisy, maka mereka pun menahan Utsman (RA) dan sepuluh orang Mukmin lain yang telah berhasil memasuki Makkah sebagai sandera. Situasi menegangkan pun tak terelakkan. Masing-masing pihak bisa saja dengan mudah membunuh sandera/tawanan yang ada di tangan mereka masing-masing.

Tertiuplah kabar-burung bahwasanya Utsman (RA) dan 10 Muslim yang ditahan telah dibunuh oleh kaum kafir.

BAI’AT UR RIDWAN (SUMPAH SETIA)

Mendengar berita ini Rasulullah (SAW) segera mengumpulkan seluruh Mukminin dibawah sebuah pohon dan mengambil sumpah mereka untuk bersedia berjihad memerangi orang-orang kafir. Maka segera saja setiap muslim satu-persatu berbai’at (bersumpah) dengan cara meletakkan tangannya ke atas tangan Rasulullah (SAW). Terakhir, beliau (SAW) meletakkan satu tangan beliau sendiri ke atas tangan beliau yang lain sambil mengatakan bahwa yang satu adalah tangan Utsman (RA), dengan demikan beliau telah mewakili Utsman (RA) berbai’at.

Ini adalah salah satu cara penghormatan unik terhadap Utsman (RA), dimana Rasulullah (SAW) mengibaratkan tangan beliau sebagai tangan Utsman (RA). Sementara itu, Utsman (RA) telah kembali ke tengah-tengah rombongan mukminin, maka iapun bisa berbai’at untuk dirinya sendiri. Allah (SWT) sangat menyukai sumpah yang telah diucapkan oleh para sahabat ini. Mari kita sima Surah Al-Fath Ayat-18.

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).

Mereka yang ikut serta dalam peristiwa Bai’at ur ridwan ini telah diberi penghormatan besar oleh Allah (SWT) dan Rasul-Nya (SAW). Diriwayatkan oleh Jabir (RA) bahwasanya Rasulullah (SAW) bersabda,

"Kalian adalah adalah manusia-manusia terbaik yang hidup di muka bumi." (Sahihain)

Ummu Basyar (RA) meriwayatkan Rasulullah (SAW) bersabda, "Mereka yang telah berikrar dibawah pohon ini tidak akan masuk Neraka." (Muslim)

Dengan demikian mereka memperoleh nikmat Surga atas ikrar yang telah mereka ucapkan, sebagaimana Allah juga telah menjanjikan Surga bagi setiap mukmin yang ikut serta dalam perang Badar.

PERTOLONGAN ALLAH (SWT)

Allah (SWT) menumbuhkan rasa takut dalam hati kaum kafir Quraisy. Mereka mengirimkan tiga orang pemimpinnya, Suhail bin Amr, Hawaitab and Makraz untuk berunding dengan Rasulullah (SAW). Ketiga pimpinan ini menyampaikan kepada Nabi (SAW), "Utsman (RA) dan sepuluh orang Muslim yang lain tidak kami bunuh. Kami akan kembalikan mereka kepadamu jika limupuluh anggota kami pun kamu kembalikan kepada kami." Demikianlah, Allah (SWT) telah menyelamatkan mereka dari saling melukai. Surah Al-Fath Ayat-24:

Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka ditengah kota Mekah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Perwakilan pemuka Quraisy yang menemui Rasulullah (SAW) juga dapat menyaksikan beberapa keistimewaan yang menggambarkan betapa para mukminin sangat mencintai, menghormati, dan setia kepada junjungan mereka Rasulullah (SAW). Setelah kembali ke Makkah, maka para pimpinan Quraisy ini menyarankan kepada warga mereka bahwasanya hal terbaik bagi mereka agar tidak hilang-muka adalah dengan mengadakan pejanjian gencatan senjata dengan pihak Muhammad (SAW).

”Jika Muslimin memasuki kota Makkah dengan kekuatan penuh maka seluruh masyarakat Arab yang lain pastilah akan menertawakan kita.” Demikian kata pemimpin Quraisy menegaskan. Lanjutnya, “Sebaiknya kita minta mereka untuk kembali ke Madinah tanpa mengerjakan Umrah untuk sekarang ini. Namun kita ijinkan mereka untuk melaksanakan Umrah tahun depan dan mereka boleh tinggal di Makkah selama tiga hari.” Usulan ini diterima oleh orang-orang Quraisy, kemudian mereka mengutus Suhaid bin Umar untuk kembali menemui Muhammad (SAW) guna membuat perjanjian tertulis dengan syarat-syarat sebagaiman mereka utarakan diatas. Suhail mengajukan persyaratan isi perjanjian sebagai berikut;

USULAN ISI PERJANJIAN HUDAIBIYAH

1. Muhammad (SAW) dan para pengikutnya tidak akan masuk kota Makkah pada tahun ini. Mereka diijinkan berkunjung ke Makkah pada tahun depan selama tiga hari.

2. Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang satu sama lain selama sepuluh tahun.

3. Suku-suku yang lain bebas memilih untuk bergabung dengan Muslimin ataupun dengan kaum Quraisy sebagai kawan mereka.

4. Jika seorang dari Quraisy membelot kepada pihak Muslim, maka Muhammad (SAW) akan mengembalikan orang tersebut kepada kaum Quraisy. Namun, jika seseorang membelot dari Muhammad (SAW) dan meminta perlindungan kepada kaum Quraisy, maka orang tersebut tidak akan dikembalikan kepada Muhammad (SAW).

SAAT-SAAT YANG MENYENTUH HATI

Rasulullah (SAW) dan Suhail bin Amr sepakat atas usulan persyaratan diatas setelah melalui pembicaraan yang berlangsung dalam suasana panas diantara kedua pihak. Raulullah pun memanggil Ali (RA) dan mulailah beliau mendiktekan kalimat-kalimat perjanjian untuk ditulis.

Rasulullah (SAW) berkata kepada Ali (RA), "Tulislah, Bismillahirrahmanirrahim" Suhail menolak dan berkata, "Kami tidak mengenal Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Awali saja dengan tulisan Bismikallah, yang maksudnya Wahai Allah kami awali ini dengan nama-Mu." Rasulullah (SAW) meminta Ali (RA) menuliskan seperti yang dikatakan Suhail. Kemudian Rasulullah (SAW) memerintahkan Ali menulis, "Ini adalah perjanjian antara Muhammad Rasulullah dengan kaum Quraisy." Suhail menyela, "Jika kami menerimamu sebagai Utusan Allah, tentu kami tidak akan menghalangimu melakukan Umrah dan tidak pula kami beberapa kali memerangimu. Tuliskan saja Muhammad bin Abdullah." Mendengar itu, Nabi (SAW) berkata kepada to Ali (RA), "Tuliskan apa yang dikatakan Suhail dan hapuslah kata Rasulullah. Ali (RA) tidak mau menghapusnya. Usaid bin Hudhair (RA) dan Saad bin Ibada (RA) juga menahan tangan Ali (RA) seraya berkata, " Jangan kamu hapus. Jika orang Quraisy tidak setuju maka biarlah kita putuskan urusan diantara kita ini dengan pedang saja."

Rasulullah (SAW) adalah seorang yang buta aksara dan tak pernah sekalipun melakukan tulis-menulis dengan tangan beliau sendiri. Namun saat itu Allah (SWT) menganugerahi kemampuan kepada beliau (SAW), diambilnya kertas dari tangan Ali (RA) dan beliau gantikan sendiri kata-kata yang telah ditulis Ali (RA) dengan ‘Muhammad bin Abdullah’ sebagaimana dikehendaki Suhail. Mukminin pun kecewa dengan hal ini, namun mereka pun pasrah pada pilihan Rasulullah di saat-saat kritis itu.

Selanjutnya Rasulullah (SAW) minta kepada Suhail agar beliau (SAW) diperbolehkan mengelilingi Ka’bah pada tahun ini. Suhail menolak mentah-mentah permintaan itu seraya mengatakan bahwa orang-orang Arab akan menertawakan kaum Quraisy lantaran nampak bahwa mereka lebih lemah daripada Muhammad (SAW).

Para Muslimin, khususnya Umar (RA), memprotes keras butir ke-empat perjanjian ini, namun Rasulullah (SAW) bahkan tidak keberatan dengan hal itu.

UJIAN BAGI PARA SAHABAT

Manakala kaum Quraisy menolak kata Bismillah dan Rasulullah, nampak para sahabat mulai bersilat-lidah diantara mereka sendiri lantaran terdapat perbedaan pandangan diantara mereka. Namun mereka ketegangan itupun surut dan dapat menerima pilihan yang telah diambil oleh Rasulullah (SAW). Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepenuhnya menyerahkan keputusan pada Rasulullah (SAW). Sewaktu Rasulullah (SAW) meminta mereka berikrar untuk berperang, mereka pun melaksanakannya dengan sepenuh hati. Ketika Rasulullah (SAW) menetapkan pilihan diatas untuk menghindari pertempuran, sekali lagi para sahabat menyerahkan sepenuhnya pada pilihan dan keinginan Rasulullah (SAW). Allah (SWT) menyukai kepatuhan mereka kepada Rasul-Nya sebagaimana tersebut dalam firman-Nya, surah Al-Fath Ayat-26.

Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

UJIAN SEKETIKA ATAS PERJANJIAN

Abu Jundal (RA), anak Suhail bin Amr, telah memeluk Islam di Makkah. Suhail, sang ayah, memenjarakannya di Makkah dan menyiksanya setiap hari. Entah bagaimana, Abu Jundal (RA) bisa melarikan diri dari Makkah dan tiba ditempat dimana perjanjian sedang dilakukan. Dengan kerendahan hati ia memohon perlindungan kepada Rasulullah (SAW). Suhail pun menolak, katanya, "Ini bertentangan dengan isi perjanjian. Jika tak engkau kembalikan ia kepadaku, maka aku takkan menandatangani perjanjian ini." Berkali-kali Rasulullah (SAW) meminta agar Suhail merelakan Abu Jundal (RA) untuk tetap bersama ummat Muslim. Suhail menolak dan menampar wajah Abu Jundal. Ia tarik sang anak pada bajunya dan dikumpulkan ia bersama para penyembah berhala. Rasulullah berkata kepada Abu Jundal, "Bersabarlah, Allah akan menyegerakan kemudahan bagimu dan ummat Muslim yang lemah lainnya yang berada di Makkah. Kami telah mengadakan perjanjian dengan kaum Quraisy. Kami tak hendak merusak janji."

Akhirnya perjanjian ditandatangani kedua belah pihak. Rasulullah (SAW) menyembelih ternaknya dan menanggalkan pakaian Ihram. Para sahabat pun melakukan hal yang sama dan selanjutnya memulai perjalanan kembali ke Madinah setelah sembilan belas hari berada di Hudaibiyah.

SATU LAGI MUKJIZAT

Ketika rombongan Muslimin sampai di Isfan dalam perjalanan pulang ke Madinah, persediaan makanan mereka telah sangat menipis. Rasulullah (SAW) menghamparkan alas berukuran besar keatas tanah dan meminta para sahabat meletakkan keatas alas itu sekecil apapun makanan yang masih mereka miliki. Manakala semua yang tersisa telah terkumpul, Rasulullah (SAW) berdoa memohon pertolongan Alah (SWT) kemudian mengundang semua orang untuk makan makanan yang tersedia diatas alas.

Seribu empat ratus sahabat pun makan sampai kenyang dan juga telah mengisi penuh tempat makanan mereka untuk bekal di perjalanan selanjutnya. Ternyata masih banyak kelebihan makanan yang tertinggal pada alas itu. Rasulullah (SAW) sangat gembira mendapati keberkahan yang diberikan Allah (SWT) ini.

BUAH DARI PERJANJIAN

Perjanjian Hudaibiyah telah membuahkan konsekuensi dalam banyak hal yang berjangkauan jauh ke depan.

1. Dengan tercapainya kesepakatan damai ini, Ummat Muslim dapat memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah lebih luas dan mencapai wilayah yang jauh. Rasulullah (SAW) mengirim surat kepada Raja Najashi di Habasyah, Raja Maqoqas di Mesir, Kisra’ di Persia, Kaisar di Romawi, Penguasa Bahrain, Penguasa Yamamah, Penguasa Damaskus dan Penguasa Amman.

2. Kaum Quraisy yang sejauh ini bersusah-payah bekerja untuk menghancurkan Ummat Islam, dengan menyetujui perjanjian ini berarti bahwa, didalam hati, mereka telah mengakui keperkasaan Ummat Muslim.

3. Semua bangsa Arab memiliki keleluasaan untuk mengirimkan utusan mereka kepada Ummat Muslim. Hal ini berarti pula sebuah kekalahan bagi kaum Quraisy, sebab selama ini mereka selalu menghalangi penyebaran Islam kepada suku-suku dari bangsa Arab.

4. Selama berlangsungnya negosiasi isi perjanjian, banyak pemimpin Quraisy yang berpengaruh bertemu dengan Rasulullah (SAW). Peristiwa ini telah menanamkan nilai-nilai Islami ke dalam hati mereka, sehingga banyak diantara mereka yang di kemudian hari pun memeluk Islam. Termasuk juga Suhail bin Amr.

5. Kaum Quraisy yang sejauh ini berketetapan untuk tidak akan pernah membiarkan Ummat Muslim masuk ke kota Makkah kapanpun juga, dengan adanya perjanjian ini berarti telah mencabut sendiri larangan mereka. Dengan demikian mereka telah menderita kekalahan dari dalam kelompok mereka sendiri.

6. Perjanjian ini telah meratakan jalan untuk penaklukan Makkah. Kemudian terjadilah penaklukan itu sekitar dua puluh satu bulan terhitung sejak disepakatinya perjanjian. Allah (SWT) mewahyukan kemenangan ini didalam Surah Al-Fath, Ayat-1:

Sesengguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.

Banyak rombongan perwakilan dari berbagai daerah berkunjung ke Madinah, dan banyak orang yang selanjutnya memeluk Islam. Sebagai gambaran nyata, dua puluh satu bulan setelah penandatanganan perjanjian (pada waktu penaklukan Makkah) pasukan muslim berjumlah sepuluh ribu orang, jauh lebih besar dibanding sejumlah seribu empat ratus orang pada waktu perjanjian Hudaibiyah.

7. Surah Al-Fath pun diturunkan. Kandungan surah ini tidak hanya terbatas pada prediksi atas berbagai penaklukan dan besarnya harta –benda hasil penaklukan itu, lebih dari itu semua adalah pernyataan bahwasanya Islam akan mengungguli agama-agama yang lain. Perhatikan Surah Al-Fath, Ayat-28 :

Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.

8. Yang sangat penting adalah menggaris-bawahi pernyataan Allah (SWT) didalam Surah Al-Fath, Ayat-29, bahwasanya: Muhammad adalah Utusan (Rasul) Allah. Oleh karena itu penghapusan sebutan ‘Rasulullah’ tidaklah menjadi soal. Ayat-29 dari Surah Al-Fath ini akan selalu berkumandang hingga datang hari kiamat kelak, dan sudah cukup sebagai bukti bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah.

9. Ibadah Umrah yang terlewatkan ditahun itu terlaksana pada tahun berikutnya. Ini membuktikan bahwa mimpi Nabi (SAW) adalah mimpi yang benar, didalam mimpi itu tidak tidak terdapat gambaran kapan akan berlangsung. Surah Al-Fath, Ayat-27.

Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat..

Perhatikan bahwa dalam ayat ini Allah (SWT) juga menggunakan kata insya Allah; walaupun Dia Maha Mengetahui segala sesuatu; ini adalah pengajaran Allah (SWT) kepada kita agar menggunakan kata tersebut dalam semua pernyataan yang kita ucapkan. Pengajaran serupa juga terdapat dalam Surah Al-Kahfi, Surah Al-Qalam dan Surah Ash-Shaffat.

10. Proses tercapainya kesepakatan damai memperkuat tingkat keimanan para sahabat. Dalam hal ini iman dalam pengertian kepatuhan kepada Allah (SWT) and Rasul-Nya (SAW). Para sahabat telah menunjukkan kepatuhan yang dimaksud, tanpa menimbang suka atau tidak suka. Perhatikanlah Surah. Al- Fath , Ayat-4:

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu’min supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Begitulah, Allah (SWT) mencintai para sahabat Rasulullah (SAW).

Adab-Adab Makan Seorang Muslim (1)

Adab-Adab Makan Seorang Muslim (1)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

{ يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ }

“Wahai anakku, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR Bukhari no. 5376 dan Muslim 2022)

Hadits di atas mengandung tiga adab makan:

Pertama, membaca basmallah

Di antara sunnah Nabi adalah mengucapkan bismillah sebelum makan dan minum dan mengakhirinya dengan memuji Allah. Imam Ahmad mengatakan, “Jika dalam satu makanan terkumpul 4 (empat) hal, maka makanan tersebut adalah makanan yang sempurna. Empat hal tersebut adalah menyebut nama Allah saat mulai makan, memuji Allah di akhir makan, banyaknya orang yang turut makan dan berasal dari sumber yang halal.

Menyebut nama Allah sebelum makan berfungsi mencegah setan dari ikut berpartisipasi menikmati makanan tersebut. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Apabila kami makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami tidak memulainya sehingga Nabi memulai makan. Suatu hari kami makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang gadis kecil seakan-akan anak tersebut terdorong untuk meletakkan tangannya dalam makanan yang sudah disediakan. Dengan segera Nabi memegang tangan anak tersebut. Tidak lama sesudah itu datanglah seorang Arab Badui. Dia datang seakan-akan di dorong oleh sesuatu. Nabi lantas memegang tangannya. Sesudah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya syaitan turut menikmati makanan yang tidak disebut nama Allah padanya. Syaitan datang bersama anak gadis tersebut dengan maksud supaya bisa turut menikmati makanan yang ada karena gadis tersebut belum menyebut nama Allah sebelum makan. Oleh karena itu aku memegang tangan anak tersebut. Syaitan pun lantas datang bersama anak Badui tersebut supaya bisa turut menikmati makanan. Oleh karena itu, ku pegang tangan Arab Badui itu. Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya sesungguhnya tangan syaitan itu berada di tanganku bersama tangan anak gadis tersebut.” (HR Muslim no. 2017)

Bacaan bismillah yang sesuai dengan sunnah adalah cukup dengan bismillah tanpa tambahan ar-Rahman dan ar-Rahim. Dari Amr bin Abi Salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku, jika engkau hendak makan ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR Thabrani dalam Mu’jam Kabir) Dalam silsilah hadits shahihah, 1/611 Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanad hadits ini shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim)

Ibnu Hajar al-Astqalani mengatakan, “Aku tidak mengetahui satu dalil khusus yang mendukung klaim Imam Nawawi bahwa ucapan bismillahirramanirrahim ketika hendak makan itu lebih afdhal.” (Fathul Baari, 9/431)

Apabila kita baru teringat kalau belum mengucapkan bismillah sesudah kita memulai makan, maka hendaknya kita mengucapkan bacaan yang Nabi ajarkan sebagaimana dalam hadits berikut ini, dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah satu kalian hendak makan, maka hendaklah menyebut nama Allah. Jika dia lupa untuk menyebut nama Allah di awal makan, maka hendaklah mengucapkan bismillahi awalahu wa akhirahu.” (HR Abu Dawud no. 3767 dan dishahihkan oleh al-Albani)

Apabila kita selesai makan dan minum lalu kita memuji nama Allah maka ternyata amal yang nampaknya sepele ini menjadi sebab kita mendapatkan ridha Allah. Dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ridha terhadap seorang hamba yang menikmati makanan lalu memuji Allah sesudahnya atau meneguk minuman lalu memuji Allah sesudahnya.” (HR Muslim no. 2734)

Bentuk bacaan tahmid sesudah makan sangatlah banyak. Diantaranya adalah dari Abu Umamah, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai makan mengucapkan:

{ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي كَفَانَا وَأَرْوَانَا غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلَا مَكْفُورٍ }

“segala puji milik Allah Dzat yang mencukupi kita dan menghilangkan dahaga kita, pujian yang tidak terbatas dan tanpa diingkari.”

Terkadang beliau juga mengucapkan:

{ الـحَمْدُ للـهِ حَمْداً كَثِيراً طَيِّباً مُبَارَكاً فِيهِ، غَيْرَ [مَكْفِيٍّ ولا] مُوَدَّعٍ، ولا مُسْتَغْنَىً عَنْهُ رَبَّنَا }

“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak dan penuh berkah meski bukanlah pujian yang mencukupi dan memadai, dan meski tidaklah dibutuhkan oleh Rabb kita.” (HR. Bukhari).

Dari Abdurrahman bin Jubair dia mendapat cerita dari seorang yang melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama delapan tahun. Orang tersebut mengatakan, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan bismillah apabila makanan disuguhkan kepada beliau. Apabila selesai makan Nabi berdoa: Allahumma Ath’amta wa Asqaita wa Aqnaita wa Ahyaita falillahil hamdu ala ma A’thaita yang artinya, “Ya Allah engkaulah yang memberi makan memberi minum, memberi berbagai barang kebutuhan, memberi petunjuk dan menghidupkan. Maka hanya untukmu segala puji atas segala yang kau beri.” (HR Ahmad 4/62, 5/375 al-Albani mengatakan sanad hadits ini shahih. Lihat silsilah shahihah, 1/111)

Hadits ini menunjukkan bahwa ketika kita hendak makan cukup mengucap bismillah saja tanpa arrahman dan arrahim dan demikianlah yang dilakukan oleh Nabi sebagaimana tertera tegas dalam hadits di atas. Di samping bacaan-bacaan tahmid di atas, sebenarnya masih terdapat bacaan-bacaan yang lain. Dan yang paling baik dalam hal ini adalah berganti-ganti, terkadang dengan bentuk bacaan tahmid yang ini dan terkadang dalam bentuk bacaan tahmid yang lain. Dengan demikian kita bisa menghafal semua bacaan doa yang Nabi ajarkan serta mendapatkan keberkahan dari semua bacaan-bacaan tersebut. Di samping itu kita bisa meresapi makna-makna yang terkandung dalam masing-masing bacaan tahmid karena kita sering berganti-ganti bacaan. Jika kita membiasakan melakukan perkara tertentu seperti membaca bacaan zikir tertentu, maka jika ini berlangsung terus menerus kita kesulitan untuk meresapi makna-makna yang kita baca, karena seakan-akan sudah menjadi suatu hal yang refleks dan otomatis

Kedua, makan dan minum menggunakan tangan kanan dan tidak menggunakan tangan kiri

Dari Jabir bin Aabdillah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena syaitan itu juga makan dengan tangan kiri.” (HR Muslim no. 2019) dari Umar radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian hendak makan maka hendaknya makan dengan menggunakan tangan kanan, dan apabila hendak minum maka hendaknya minum juga dengan tangan kanan. Sesungguhnya syaitan itu makan dengan tangan kiri dan juga minum dengan menggunakan tangan kirinya.” (HR Muslim no. 2020) Imam Ibnul Jauzi mengatakan, “karena tangan kiri digunakan untuk cebok dan memegang hal-hal yang najis dan tangan kanan untuk makan maka tidak sepantasnya salah satu tangan tersebut digunakan untuk melakukan pekerjaan tangan yang lain.” (Kasyful Musykil, hal 2/594)

Meskipun hadits-hadits tentang hal ini sangatlah terkenal dan bisa kita katakan orang awam pun mengetahuinya, akan tetapi sangat disayangkan masih ada sebagian kaum muslimin yang bersih kukuh untuk tetap makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri. Apabila ada yang mengingatkan, maka dengan ringannya menjawab karena sudah terlanjur jadi kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan. Tidak disangsikan lagi bahwa prinsip seperti ini merupakan tipuan syaitan agar manusia jauh dari mengikuti aturan Allah yang Maha Penyayang. Lebih parah lagi jika makan dan minum dengan tangan kiri ini disebabkan faktor kesombongan.

Dari Salamah bin Akwa radhiyallahu ‘anhu beliau bercerita bahwa ada seorang yang makan dengan menggunakan tangan kiri di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melihat hal tersebut Nabi bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu.” “Aku tidak bisa makan dengan tangan kanan,” sahut orang tersebut. Nabi lantas bersabda, “Engkau memang tidak biasa menggunakan tangan kananmu.” Tidak ada yang menghalangi orang tersebut untuk menuruti perintah Nabi kecuali kesombongan. Oleh karena itu orang tersebut tidak bisa lagi mengangkat tangan kanannya ke mulutnya.” (HR Muslim no. 2021)

Dalam riwayat Ahmad no. 16064 dinyatakan, “Maka tangan kanan orang tersebut tidak lagi bisa sampai ke mulutnya sejak saat itu.” Imam Nawawi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa kita diperbolehkan untuk mendoakan kejelekan terhadap orang yang tidak melaksanakan aturan syariat tanpa aturan yang bisa dibenarkan. Hadits di atas juga menunjukkan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar itu dilakukan dalam segala keadaan. Sampai-sampai meskipun sedang makan. Di samping itu hadits di atas juga menunjukkan adanya anjuran mengajari adab makan terhadap orang yang tidak melaksanakannya (Syarah shahih Muslim, 14/161)

Meskipun demikian jika memang terdapat alasan yang bisa dibenarkan yang menyebabkan seseorang tidak bisa menikmati makanan dengan tangan kanannya karena suatu penyakit atau sebab lain, maka diperbolehkan makan dengan menggunakan tangan kiri. Dalilnya firman Allah, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. al-Baqarah: 286)

Ketiga, memakan makanan yang berada di dekat kita

Umar bin Abi Salamah meriwayatkan, “Suatu hari aku makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku mengambil daging yang berada di pinggir nampan, lantas Nabi bersabda, “Makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR. Muslim, no. 2022)

Hikmah dari larangan mengambil makanan yang berada di hadapan orang lain, adalah perbuatan kurang sopan, bahkan boleh jadi orang lain merasa jijik dengan perbuatan itu.

Anas bin Malik meriwayatkan, “Ada seorang penjahit yang mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikmati makanan yang ia buat. Aku ikut pergi menemani Nabi. Orang tersebut menyuguhkan roti yang terbuat dari gandum kasar dan kuah yang mengandung labu dan dendeng. Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengambil labu yang berada di pinggir nampan.” (HR. Bukhari, no. 5436, dan Muslim no. 2041)

Kalau lihat hadits ini, Nabi pernah tidak hanya memakan makanan yang berada di dekat beliau, tetapi juga di depan orang lain. Sehingga untuk kompromi dua hadits tersebut, Ibnu Abdil Bar dalam at-Tamhiid Jilid I halaman 277, mengatakan, “Jika dalam satu jamuan ada dua jenis atau beberapa macam lauk, atau jenis makanan yang lain, maka diperbolehkan untuk mengambil makanan yang tidak berada di dekat kita. Apabila hal tersebut dimaksudkan untuk memilih makanan yang dikehendaki. Sedangkan maksud Nabi, “Makanlah makanan yang ada di dekatmu” adalah karena makanan pada saat itu hanya satu jenis saja. Demikian penjelasan para ulama”

-bersambung insya Allah-

***

Adab-Adab Makan Seorang Muslim (2)

Anjuran makan dari pinggir piring

Diriwayatkan dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi bersabda, “Jika kalian makan, maka janganlah makan dari bagian tengah piring, akan tetapi hendaknya makan dari pinggir piring. Karena keberkahan makanan itu turun dibagian tengah makanan.” (HR Abu Dawud no. 3772, Ahmad, 2435, Ibnu Majah, 3277 dan Tirmidzi, 1805. Imam Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini hasan shahih.”)

Hikmah larangan makan dari bagian tengah piring adalah, agar kita mendapatkan keberkahan yang berada di tengah-tengah makanan. Jika sedang makan bersama (baca: kembulan -Jawa, sepiring berdua atau lebih) terdapat hikmah yang lain, yaitu orang yang mengambil makanan berada di tengah, di nilai orang yang tidak sopan dan memilih yang enak-enak saja untuk dirinya sendiri.

Cuci tangan sebelum makan dan sesudah makan

Dalam hal ini, tidak ditemukan satu pun hadits shahih yang membicarakan tentang cuci tangan sebelum makan, namun hanya berstatus hasan. Imam Baihaqi mengatakan, “Hadits tentang cuci tangan sesudah makan adalah hadits yang berstatus hasan, tidak terdapat hadits yang shahih tentang cuci tangan sebelum makan.” (Adabus Syar’iyyah, 3/212)

Walau demikian, cuci tangan sebelum makan tetap dianjurkan, untuk menghilangkan kotoran atau hal-hal yang berbahaya bagi tubuh yang melekat di tangan kita.

Tentang cuci tangan sebelum makan, Imam Ahmad memiliki dua pendapat: pertama menyatakan makruh. Sedangkan yang kedua menyatakan dianjurkan.

Imam Malik lebih merinci hal ini, beliau berpendapat, dianjurkan cuci tangan sebelum makan jika terdapat kotoran di tangan.

Ibnu Muflih mengisyaratkan, bahwa cuci tangan sebelum makan itu tetap dianjurkan, dan ini merupakan pendapat beberapa ulama. Dalam hal ini ada kelapangan. Artinya jika dirasa perlu cuci tangan, jika dirasa tidak perlu tidak mengapa.

Mengenai cuci tangan sesudah makan, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang tidur dalam keadaan tangannya masih bau daging kambing dan belum dicuci, lalu terjadi sesuatu, maka janganlah dia menyalahkan kecuali dirinya sendiri.” (HR. Ahmad, no. 7515, Abu Dawud, 3852 dan lain-lain, hadits ini dishahihkan oleh al-Albani)

Dalam riwayat lain, Abu Hurairah menyatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah makan belikat kambing. Sesudah selesai makan beliau berkumur-kumur, mencuci dua tangannya baru melaksanakan shalat. (HR. Ahmad, 27486 dan Ibn Majah 493, hadits ini dishahihkan oleh al-Albani)

Abban bin Utsman bercerita, bahwa Utsman bin Affan pernah makan roti yang bercampur dengan daging, setelah selesai makan beliau berkumur-kumur dan mencuci kedua tangan beliau. Lalu dua tangan tersebut beliau usapkan ke wajahnya. Setelah itu beliau melaksanakan shalat dan tidak berwudhu lagi. (HR. Malik, no. 53)

Keadaan junub hendak makan

Jika kita dalam kondisi junub dan hendak makan, maka dianjurkan berwudhu terlebih dahulu. Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dalam keadaan junub lalu hendak makan atau tidur, maka beliau berwudhu terlebih dahulu, seperti berwudhu untuk shalat.” (HR Bukhari, no. 286 dan Muslim, no. 305)

Nafi’ mengatakan, bahwa Ibnu Umar jika ingin tidur atau ingin makan dalam kondisi junub maka beliau membasuh wajah dan kedua tangannya sampai siku dan mengusap kepala. (baca: berwudhu) sesudah itu beliau baru makan atau tidur.” (HR Malik, no. 111)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Kami tidak mengetahui seorang pun ulama yang menganjurkan berwudhu sebelum makan kecuali dalam keadaan junub.” (Adab Syar’iyyah 3/214)

Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, bahwa Rasulullah bila hendak tidur dalam keadaan junub maka beliau berwudhu terlebih dahulu, dan apabila beliau hendak makan maka beliau mencuci kedua tangannya terlebih dahulu.” (HR Nasa’i no. 256, Ahmad, 24353, dan lain-lain)

Dalam Silsilah ash-Shahihah, 1/674, syaikh al-Albani berdalil dengan hadits di atas untuk menganjurkan mencuci tangan sebelum makan secara mutlak baik dalam kondisi junub ataupun tidak. Tetapi pendapat beliau itu kurang tepat, mengingat beberapa alasan: pertama, hadits di atas berisi penjelasan tentang makan minum dan tidur Nabi pada saat beliau dalam keadaan junub. Kedua, dalam sebagian riwayat digunakan kata-kata ‘berwudhu’ sedangkan dalam riwayat yang lain disebutkan mencuci dua tangan sebagaimana dalam hadits di atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua perbuatan di atas boleh dilakukan.

As-Sindi mengatakan, “Terkadang Nabi cuma membasuh kedua tangannya untuk menunjukkan bolehnya hal tersebut dan terkadang Nabi berwudhu agar lebih sempurna.” (Sunan Nasa’i dengan hasyiyah as-Sindi, 1/138 –139)

Ketiga, para Ulama ahli hadits, seperti Imam Malik, Ahmad, Ibnu Taimiyyah, Nasai dan lain-lain menyampaikan hadits ini, akan tetapi mereka tidak menganjurkan cuci tangan sebelum makan secara mutlak, sebagaimana yang dilakukan oleh syekh al-Albani. Hal ini menunjukkan, bahwa menurut para ulama-ulama di atas hadits tadi hanya berlaku pada saat dalam kondisi junub.

Intinya, anjuran berwudhu dan cuci tangan sebelum makan yang terdapat dalam hadits di atas hanya dianjurkan saat dalam kondisi junub.

Tidak duduk sambil bersandar

Abu Juhaifah mengatakan, bahwa dia berada di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah berkata kepada seseorang yang berada di dekat beliau, “Aku tidak makan dalam keadaan bersandar.” (HR Bukhari)

Yang dimaksud duduk sambil bersandar dalam hadits tersebut adalah segala bentuk duduk yang bisa disebut duduk sambil bersandar, dan tidak terbatas dengan duduk tertentu. Makan sambil bersandar dimakruhkan dikarenakan hal tersebut merupakan duduknya orang yang hendak makan dengan lahap.

Ibnu Hajar mengatakan, “Jika sudah disadari bahwasanya makan sambil bersandar itu dimakruhkan atau kurang utama, maka posisi duduk yang dianjurkan ketika makan adalah dengan menekuk kedua lutut dan menduduki bagian dalam telapak kaki atau dengan menegakkan kaki kanan dan menduduki kaki kiri.” (Fathul Baari, 9/452)

Tentang duduk dengan menegakkan kaki kanan dan menduduki kaki kiri terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hasan bin al-Muqri dalam kitab Syama’il. Dalam riwayat itu dinyatakan, bahwa duduk Nabi menekuk lututnya yang kiri dan menegakkan kaki kanan. Tetapi sanad hadits ini didha’ifkan oleh al-’Iraqi dalam takhrij Ihya’ Ulumuddin, 2/6.

Di antara bentuk duduk bersandar adalah duduk bersandar dengan tangan kiri yang diletakkan di lantai. Ibnu ‘Addi meriwayatkan sebuah hadits yang mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bersandar dengan tangan kiri pada saat makan. Namun sanad hadits ini juga dinyatakan lemah oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 9/452. Meskipun demikian cara duduk seperti itu tetap dimakruhkan, sebagaimana perkataan Imam Malik. Beliau mengatakan, bahwa duduk semacam itu termasuk duduk bersandar.

Tidak tengkurap

Termasuk gaya makan yang terlarang adalah makan sambil tengkurap. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jenis makanan: yaitu duduk dalam jamuan makan yang menyuguhkan minum-minuman keras dan makan sambil tengkurap.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majjah. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani.

Dalam Zaadul Maad, 4/221, Ibnul Qayyim mengatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam makan sambil duduk dengan meletakkan pantat di atas lantai dan menegakkan dua betis kaki. Dan diriwayatkan pula, bahwa Nabi makan sambil berlutut dan bagian dalam telapak kaki kiri diletakkan di atas punggung telapak kaki kanan. Hal ini beliau lakukan sebagai bentuk tawadhu’ kepada Allah ta’ala.

Cara duduk pertama yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan kurma sambil duduk dengan meletakkan pantat di atas lantai dan menegakkan dua betis kaki.” (HR Muslim)

Dan cara duduk kedua, diriwayatkan dari Abdullah bin Busrin, “Aku memberi hadiah daging kambing kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memakannya sambil duduk berlutut. Ada seorang Arab Badui mengatakan, “Mengapa engkau duduk dengan gaya seperti itu? Lalu Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah menjadikanku seorang hamba yang mulia dan tidak menjadikanku orang yang sombong dan suka menentang.” (HR Ibnu Majah, sanad hadits ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 9/452).

-bersambung insya Allah-

***

Beginilah Seharusnya Seorang Salafy

Sebagian orang berpandangan bahwasanya dakwah Salafiyah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah di negeri kita ini terkesan sebagai dakwahnya orang-orang yang gemar bikin ribut dan tidak pernah akur, bahkan di antara sesama mereka sendiri. Mereka saling menjatuhkan. Kelompok yang satu mencela dan mendiskreditkan kelompok yang lain. Padahal mereka sama-sama mengaku Salafi (pengikut Sahabat Nabi). Buku-buku mereka pun sama, para ulama yang mereka jadikan rujukan juga sama. Namun ternyata mereka justru saling gontok-gontokan. Anggapan ini tidaklah seratus persen benar. Akan tetapi itulah sebagian fakta yang ada di dalam pandangan masyarakat.

Saudaraku, kita semua perlu bercermin kembali. Penisbatan kepada Salaf adalah penisbatan yang sangat mulia. Salaf bukanlah sebuah pabrik atau yayasan, yang dengan mudah pihak atasan memecat anak buahnya yang dinilai bandel dan ngeyelan (suka ngotot dan membantah). Oleh sebab itulah pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan sebuah fatwa salah seorang Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada masa kini yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah sebagai pelajaran dan koreksi bagi kita semua. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menggapai apa yang dicintai dan diridhai-Nya.

Pertanyaan:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah karakteristik paling menonjol dari Golongan Yang Selamat (Al Firqah An Najiyah)? Dan apakah adanya kekurangan (yang ada pada diri seseorang) dalam salah satu di antara karakter ini lantas mengeluarkan orang tersebut dari Golongan Yang Selamat?”

Jawaban:

Beliau rahimahullah menjawab, “Karakter paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat adalah berpegang teguh dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal akidah (keyakinan), ibadah (ritual), akhlak (budi pekerti), dan mu’amalah (interaksi sesama manusia). Dalam keempat perkara inilah anda dapatkan Golongan Yang Selamat sangat tampak menonjol ciri mereka:

Adapun dalam hal akidah: Anda bisa jumpai mereka senantiasa berpegang teguh dengan keterangan dalil Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu meyakini tauhid yang murni dalam hal Uluhiyah Allah, Rububiyah-Nya serta Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.

Adapun dalam hal ibadah: Anda jumpai golongan ini tampak istimewa karena sikap mereka yang begitu berpegang teguh dan berusaha keras menerapkan ajaran-ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menunaikan ibadah, yang meliputi jenis-jenisnya, cara-caranya, ukuran-ukurannya, waktu-waktunya dan sebab-sebabnya. Sehingga anda tidak akan menjumpai adanya perbuatan menciptakan kebid’ahan dalam agama Allah di antara mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya dengan menyusupkan suatu bentuk ibadah yang tidak diijinkan oleh Allah.

Sedangkan dalam hal akhlak: Anda pun bisa menjumpai ciri mereka juga seperti itu. Mereka tampil istimewa dibandingkan selain mereka dengan akhlak yang mulia, seperti contohnya: mencintai kebaikan bagi umat Islam, sikap lapang dada, bermuka ramah, berbicara baik dan pemurah, pemberani dan sifat-sifat lain yang termasuk bagian dari kemuliaan akhlak dan keluhurannya.

Dan dalam hal mu’amalah: Anda bisa jumpai mereka menjalin hubungan dengan sesama manusia dengan sifat jujur dan suka menerangkan kebenaran. Dua sifat inilah yang diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya, “Penjual dan pembeli mempunyai hak pilih selama keduanya belum berpisah. Apabila mereka berdua bersikap jujur dan menerangkan apa adanya niscaya akan diberkahi jual beli mereka. Dan apabila mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat barangnya) maka akan dicabut barakah jual beli mereka berdua.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adanya kekurangan pada sebagian karakter ini tidak lantas mengeluarkan individu tersebut dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat, namun setiap tingkatan orang akan mendapatkan balasan sesuai amal yang mereka perbuat. Sedangkan kekurangan dalam sisi tauhid terkadang bisa mengeluarkan dirinya dari Golongan Yang Selamat, seperti contohnya hilangnya keikhlasan. Demikian pula dalam masalah bid’ah, terkadang dengan sebab bid’ah-bid’ah yang diperbuatnya membuatnya keluar dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat.

Adapun dalam masalah akhlak dan mu’amalah maka tidaklah seseorang dikeluarkan dari Golongan Yang Selamat ini semata-mata karena kekurangan dirinya dalam dua masalah ini, meskipun hal itu menyebabkan kedudukannya menjadi turun.

Kita perlu untuk memperinci permasalahan akhlak karena salah satu faidah dari akhlak ialah terwujudnya kesatuan kata dan bersatu padu di atas kebenaran yang diperintahkan Allah ta’ala kepada kita di dalam firman-Nya (yang artinya), “Allah mensyari’atkan kepada kalian ajaran agama yang juga diwasiatkan kepada Nuh dan yang Kami wasiatkan kepadamu dan Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu agar kalian tegakkan agama dan janganlah berpecah belah di dalamnya.” (QS. Asy Syura: 13)

Dan Allah memberitakan bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lepas tanggung jawab dari perbuatan orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi bergolong-golongan. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka maka tidak ada tanggung jawabmu atas mereka.” (QS. Al An’am: 159). Sehingga kesatuan kata dan keterikatan hati merupakan salah satu karakter paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat -Ahlus Sunnah wal Jama’ah- Oleh sebab itu apabila muncul perselisihan di antara mereka yang bersumber dari ijtihad dalam berbagai perkara ijtihadiyah maka hal itu tidaklah membangkitkan rasa dengki, permusuhan ataupun kebencian di antara mereka. Akan tetapi mereka meyakini bahwasanya mereka adalah bersaudara meskipun terjadi perselisihan ini di antara mereka. Sampai-sampai salah seorang di antara mereka mau shalat di belakang imam yang menurutnya dalam status tidak wudhu sementara si imam berpendapat bahwa dirinya masih punya status wudhu.

Atau contoh lainnya adalah orang yang tetap mau shalat bermakmum kepada imam yang baru saja memakan daging onta. Si imam berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu. Sedangkan si makmum berpendapat bahwa hal itu membatalkan wudhu. Namun dia tetap berkeyakinan bahwa shalat bermakmum kepada imam tersebut adalah sah. Walaupun seandainya jika dia sendiri yang shalat maka dia menilai shalatnya dalam keadaan seperti itu tidak sah. Ini semua bisa terwujud karena mereka memandang bahwa perselisihan yang bersumber dari ijtihad dalam persoalan yang diijinkan untuk ijtihad pada hakikatnya bukanlah perselisihan. Alasannya adalah karena masing-masing individu dari dua orang yang berbeda pendapat ini sudah berusaha mengikuti dalil yang harus diikuti olehnya dan dia tidak boleh untuk meninggalkannya. Oleh sebab itu, apabila mereka melihat saudaranya berbeda pendapat dengannya dalam suatu perbuatan karena mengikuti tuntutan dalil maka sebenarnya saudaranya itu telah sepakat dengan mereka, karena mereka mengajak untuk mengikuti dalil dimanapun adanya. Sehingga apabila dengan menyelisihi mereka itu menjadikan dirinya sesuai dengan dalil yang ada (dalam pandangannya), maka pada hakikatnya dia telah bersepakat dengan mereka, karena dia sudah meniti jalan yang mereka serukan dan tunjukkan yaitu keharusan untuk berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah seperti ini di kalangan para sahabat tidaklah tersembunyi di kalangan banyak ulama, bahkan sudah ada juga di jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ternyata tidak ada seorangpun di antara mereka yang bersikap keras kepada yang lainnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan Jibril datang kepada beliau menyuruh beliau agar memberangkatkan para sahabat ke Bani Quraizhah yang telah membatalkan perjanjian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpesan kepada para sahabatnya, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari dan Muslim), maka mereka berangkat dari Madinah menuju Bani Quraizhah namun di tengah perjalanan mereka waktu shalat ‘Ashar sudah hampir habis. Di antara mereka ada yang mengakhirkan shalat ‘Ashar sampai tiba di Bani Quraizhah sesudah keluar waktu. Mereka beralasan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Dan ada juga di antara mereka yang mengerjakan shalat pada waktunya. Mereka ini mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah perintah agar mereka bersegera berangkat ke sana dan bukan bermaksud agar kita mengakhirkan shalat di luar waktunya -dan mereka inilah yang benar- akan tetapi meskipun demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersikap keras terhadap salah satu di antara kedua kelompok tersebut. Dan hal itu tidaklah membuat mereka memusuhi dan membenci shahabat lain semata-mata karena perbedaan mereka dalam memahami dalil ini.

Oleh sebab itulah saya berpandangan bahwa menjadi kewajiban kaum muslimin yang menisbatkan dirinya kepada Sunnah supaya menjadi umat yang bersatu padu dan janganlah terjadi tahazzub (tindakan bergolong-golongan). Yang ini membela suatu kelompok, sedangkan yang lain membela kelompok lainnya, dan pihak ketiga membela kelompok ketiga dan seterusnya, yang mengakibatkan mereka saling bergontok-gontokan dan melontarkan ucapan-ucapan yang menyakitkan, saling memusuhi dan membenci gara-gara perselisihan dalam masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Dan saya tidak perlu untuk menyebutkan tiap-tiap kelompok itu secara detail, akan tetapi orang yang berakal pasti bisa memahami dan memetik kejelasan perkaranya.

Saya juga berpandangan bahwasanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah wajib untuk bersatu, bahkan meskipun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, selama hal itu memang dibangun berdasarkan dalil-dalil menurut pemahaman yang mereka capai. Karena hal ini (perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, red) sesungguhnya adalah perkara yang lapang, dan segala puji hanya bagi Allah. Maka yang terpenting adalah terwujudnya keterikatan hati dan kesatuan kalimat (di antara sesama Ahlus Sunnah, red). Dan tidaklah perlu diragukan bahwasanya musuh-musuh umat Islam sangat senang apabila di antara umat Islam saling berpecah belah, entah mereka itu musuh yang terang-terangan maupun musuh yang secara lahiriyah menampakkan pembelaan terhadap kaum muslimin atau mengaku loyal kepada agama Islam padahal sebenarnya mereka tidak demikian. Maka wajib bagi kita untuk menonjolkan karakter istimewa ini, sebuah karakter yang menjadi ciri keistimewaan kelompok yang selamat; yaitu bersepakat di atas satu kalimat.” (Fatawa Arkanul Islam, Daruts Tsuraya, hal. 22-26)

Demikianlah fatwa seorang alim yang sudah sama-sama kita akui kedalaman ilmu dan ketakwaannya. Duhai, alangkah jauhnya sifat-sifat kita dengan sifat-sifat elok yang beliau gambarkan… Kalau saja masing-masing dari kita bisa menerapkan dengan baik isi nasihat beliau di atas maka niscaya tidak akan terjadi baku hantam di antara sesama Ahlus Sunnah. Sebagaimana para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum bisa bersikap arif tatkala menyaksikan saudaranya menyelisihi dirinya demi mengikuti tuntutan dalil yang sampai kepada mereka. Selain itu umat Islam di negeri ini tentu akan lebih merasa gembira dan tenang dalam menerima dakwah, karena mereka bisa menyaksikan sosok-sosok da’i yang pandai menyikapi keadaan, tidak grusah-grusuh dan terlalu cepat mengambil tindakan tanpa kenal perhitungan. Apa salahnya jika kebenaran itu berada di pihak lain di luar kelompok kita? Apa salahnya jika yang menyampaikan kebenaran itu bukan ustadz kita? Bukankah hikmah itu adalah barangnya orang beriman yang hilang? Apakah semata-mata karena kebenaran itu datang dari selain kelompok kita lantas kebenaran itu boleh kita tolak. Lalu apakah bedanya kita dengan orang-orang yang taklid buta dan mengagung-agungkan kyai-kyainya? Renungkanlah saudaraku… Terkadang musuh yang cerdas itu jauh lebih bermanfaat bagi kita daripada teman-teman yang bungkam dari ketergelinciran kita.

Bagaimana bisa kita menyerukan umat Islam untuk kembali bersatu di atas pangkuan manhaj Salaf sementara kita sendiri justru memporakporandakan persatuan itu dengan menerkam saudara-saudara kita sesama Ahlus Sunnah dengan dalih menyelamatkan umat dan membantah Ahlul bida’ wal ahwa’? Sedangkan para ulama mewasiatkan kepada kita untuk memperbaiki akhlak demi terjalinnya persatuan dan keterkaitan hati. Adakah yang mau mengambil pelajaran? Hamba memohon kepada-Mu ya Allah, bukakanlah hati-hati kami untuk menerima kebenaran. Engkau lah Yang Maha tahu kekurangan dan dosa-dosa kami. Kami mengakuinya dan kami mohon ampunan kepada-Mu, ya Rabbi. Kembalikanlah persatuan dakwah yang mulia ini di atas kebenaran dan bimbingan para ulama yang Rabbani. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan Maha Mengabulkan do’a. Semoga shalawat dan keselamatan senantiasa terlimpah kepada panutan kita Nabi Muhammad, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka kaum Salafiyin yang ada di sepanjang masa hingga tegaknya hari kiamat. Dan akhirnya segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.

***

Macam-Macam Bid’ah di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan barakah dan penuh dengan keutamaan. Allah subhanahu wa ta’ala telah mensyariatkan dalam bulan tersebut berbagai macam amalan ibadah yang banyak agar manusia semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Akan tetapi sebagian dari kaum muslimin berpaling dari keutamaan ini dan membuat cara-cara baru dalam beribadah. Mereka lupa firman Allah ta’ala, “Pada hari ini Aku telah menyempurnakan agama kalian.” (QS. Al-Maidah: 3). Mereka ingin melalaikan manusia dari ibadah yang disyariatkan. Mereka tidak merasa cukup dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau ridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin.

Oleh sebab itu pada tulisan ini kami mencoba mengangkat beberapa amalan bid’ah yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin, yaitu amalan-amalan yang dilakukan akan tetapi tidak diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat beliau, semoga dengan mengetahuinya kaum muslimin bisa meninggalkan perbuatan tersebut.

Bid’ah Berzikir Dengan Keras Setelah Salam Shalat Tarawih

Berzikir dengan suara keras setelah melakukan salam pada shalat tarawih dengan dikomandani oleh satu suara adalah perbuatan yang tidak disyariatkan. Begitu pula perkataan muazin, “assholaatu yarhakumullah” dan yang semisal dengan perkataan tersebut ketika hendak melaksanakan shalat tarawih, perbuatan ini juga tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula oleh para sahabat maupun orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Oleh karena itu hendaklah kita merasa cukup dengan sesuatu yang telah mereka contohkan. Seluruh kebaikan adalah dengan mengikuti jejak mereka dan segala keburukan adalah dengan membuat-buat perkara baru yang tidak ada tuntunannya dari mereka.

Membangunkan Orang-Orang untuk Sahur

Perbuatan ini merupakan salah satu bid’ah yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak pernah memerintahkan hal ini. Perbedaan tata-cara membangunkan sahur dari tiap-tiap daerah juga menunjukkan tidak disyariatkannya hal ini, padahal jika seandainya perkara ini disyariatkan maka tentunya mereka tidak akan berselisih.

Melafazkan Niat

Melafazkan niat ketika hendak melaksanakan puasa Ramadhan adalah tradisi yang dilakukan oleh banyak kaum muslimin, tidak terkecuali di negeri kita. Di antara yang kita jumpai adalah imam masjid shalat tarawih ketika selesai melaksanakan shalat witir mereka mengomandoi untuk bersama-sama membaca niat untuk melakukan puasa besok harinya.

Perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak di contohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga orang-orang saleh setelah beliau. Yang sesuai tuntunan adalah berniat untuk melaksanakan puasa pada malam hari sebelumnya cukup dengan meniatkan dalam hati saja, tanpa dilafazkan.

Imsak

Tradisi imsak, sudah menjadi tren yang dilakukan kaum muslimin ketika ramadhan. Ketika waktu sudah hampir fajar, maka sebagian orang meneriakkan “imsak, imsak…” supaya orang-orang tidak lagi makan dan minum padahal saat itu adalah waktu yang bahkan Rasulullah menganjurkan kita untuk makan dan minum. Sahabat Anas meriwayatkan dari Zaid bin Sabit radhiyallahu ‘anhuma, “Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau shalat. Maka kata Anas, “Berapa lama jarak antara azan dan sahur?”, Zaid menjawab, “Kira-kira 50 ayat membaca ayat al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menunda Azan Magrib Dengan Alasan Kehati-Hatian

Hal ini bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menganjurkan kita untuk menyegerakan berbuka. Rasulullah bersabda,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari Muslim)

Takbiran

Yaitu menyambut datangnya ied dengan mengeraskan membaca takbir dan memukul bedug pada malam ied. Perbuatan ini tidak disyariatkan, yang sesuai dengan sunah adalah melakukan takbir ketika keluar rumah hendak melaksanakan shalat ied sampai tiba di lapangan tempat melaksanakan shalat ied.

Padusan

Yaitu Mandi besar pada satu hari menjelang satu ramadhan dimulai. Perbuatan ini tidak disyariatkan dalam agama ini, yang menjadi syarat untuk melakukan puasa ramadhan adalah niat untuk berpuasa esok pada malam sebelum puasa, adapun mandi junub untuk puasa Ramadhan tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mendahului Puasa Satu Hari Atau Dua Hari Sebelumnya

Rasulullah telah melarang mendahului puasa ramadhan dengan melakukan puasa pada dua hari terakhir di bulan sya’ban, kecuali bagi yang memang sudah terbiasa puasa pada jadwal tersebut, misalnya puasa senin kamis atau puasa dawud. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian mendahului puasa ramadhan dengan melakukan puasa satu hari atau dua hari sebelumnya. Kecuali bagi yang terbiasa melakukan puasa pada hari tersebut maka tidak apa-apa baginya untuk berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perayaan Nuzulul Qur’an

Yaitu melaksanakan perayaan pada tanggal 17 Ramadhan, untuk mengenang saat-saat diturunkannya al-Qur’an. Perbuatan ini tidak ada tuntunannya dari praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para sahabat sepeninggal beliau.

Berziarah Kubur Karena Ramadhan

Tradisi ziarah kubur menjelang atau sesudah ramadhan banyak dilakukan oleh kaum muslimin, bahkan di antara mereka ada yang sampai berlebihan dengan melakukan perbuatan-perbuatan syirik di sana. Perbuatan ini tidak disyariatkan. Ziarah kubur dianjurkan agar kita teringat dengan kematian dan akhirat, akan tetapi mengkhususkannya karena even tertentu tidak ada tuntunannya dari Rasulullah maupun para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin.

Inilah beberapa bid’ah yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, khususnya di negeri kita, semoga Allah ta’ala memberikan kita ilmu yang bermanfaat, sehingga kita bisa meninggalkan perkara-perkara tersebut dan melakukan perbuatan yang sesuai dengan tuntunan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

***

Hadits-Hadits Seputar Iman

Sesungguhnya segala puji adalah bagi Allah. Kita memuji, meminta pertolongan, memohon ampunan, dan bertaubat kepada-Nya. Kita pun berlindung kepada Allah dari keburukan hawa nafsu dan kejelekan amal-amal kita. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan oleh-Nya maka tidak ada lagi yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, semoga salawat (pujian) selalu terlimpah kepadanya, segenap pengikut dan para sahabatnya semua, demikian pula semoga keselamatan sebanyak-banyaknya senantiasa tercurah kepada mereka.

Amma ba’du, -wahai orang-orang yang beriman, wahai hamba-hamba Allah- bertakwalah kalian kepada Allah ta’ala, karena barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan menjaga dirinya dan menunjukinya kepada kebaikan urusan agama dan dunianya. Kemudian, ketahuilah -semoga Allah merahmati kalian- sesungguhnya nikmat-nikmat dari Allah jalla wa ‘ala sangatlah banyak, tak terhingga bilangannya dan tak terbatasi ukurannya. Allah berfirman (yang artinya), “Apabila kalian berusaha untuk menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan mampu menghingganya.” (Qs. Ibrahim: 24). Sesungguhnya nikmat Allah jalla wa ‘ala yang paling mulia, kenikmatan-Nya yang paling agung, dan pemberian-Nya yang paling besar adalah kenikmatan iman. Itulah kenikmatan terbesar dan anugerah teragung dari Allah tabaraka wa ta’ala kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “Akan tetapi Allah itulah yang membuat iman terasa menyenangkan bagi kalian, membuatnya tampak indah di dalam hati kalian, dan yang membuat kalian benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. Mereka itulah orang-orang yang lurus. Sebuah keutamaan dan kenikmatan yang datang dari Allah, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Hujurat: 7-8)

Wahai hamba-hamba Allah, iman merupakan sebab untuk meraih kebahagiaan dunia dan di akhirat. Dengan iman itulah, seorang akan bisa merasakan ketenangan dan ketenteraman, keteguhan hati dan ketenangan jiwa. Ketenteraman jiwa dan kebahagiaan manusia akan diperoleh dengannya. Demikian pula, kelezatan dunia dan akhirat akan tergapai dengannya. Allah berfirman (yang artinya), “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia adalah seorang mukmin, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan Kami akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang mereka lakukan.” (Qs. an-Nahl: 97)

Dengan iman itulah -wahai hamba-hamba Allah- akan didapatkan surga beserta segala kenikmatan agung, anugerah yang besar, dan pemberian yang melimpah ruah yang ada di dalam surga. Dengan iman itulah -wahai hamba-hamba Allah- akan tercapai keselamatan dari neraka dan segala siksaan yang sangat keras dan hukuman yang sangat menyakitkan yang terdapat di dalamnya. Dengan iman itulah -wahai hamba-hamba Allah- orang-orang yang beriman akan bisa merasakan nikmatnya memandang wajah Rabb Yang Maha Mulia subhanahu wa ta’ala, sementara kenikmatan itulah kenikmatan teragung yang akan didapatkan oleh orang-orang yang beriman. Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari itu, wajah-wajah berseri, mereka memandang kepada Rabbnya.” (Qs. al-Qiyamah: 22-23). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dengan mengarahkan pembicaraannya kepada kaum yang beriman, “Sesungguhnya kalian pasti akan melihat Rabb kalian pada hari kiamat nanti sebagaimana kalian melihat bulan pada saat malam purnama, kalian tidak perlu berdesak-desakan untuk bisa melihatnya.”

Kenikmatan iman, faedah, dan pengaruhnya kepada orang yang beriman tidak terhitung jumlah dan ukurannya. Bahkan seluruh kenikmatan dan kebaikan yang diperoleh di dunia maupun di akhirat, maka itu semua adalah buah dan hasil dari keimanan. Sementara seluruh kejelekan dan bencana yang tersingkirkan dari manusia di dunia maupun di akhirat, maka itu semua merupakan buah dan hasil yang dipetik dari pohon keimanan. Oleh sebab itu -wahai hamba-hamba Allah- wajib bagi setiap mukmin yang telah mendapatkan kenikmatan iman dan diberi petunjuk oleh-Nya untuk memeluk agama ini, sudah semestinya dia semakin berpegang teguh, menjaga serta memeliharanya. Hendaknya dia meminta kepada Rabb Yang Maha Pemurah jalla wa ‘ala agar meneguhkan dirinya di atasnya hingga kematian tiba. Allah berfirman (yang artinya), “Allah akan meneguhkan diri orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh di dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan Allah melakukan apa pun yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Ibrahim: 27)

Kemudian -wahai hamba-hamba Allah- sesungguhnya keimanan itulah pemberian yang paling mulia dan paling agung sebagaimana diterangkan di dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barang siapa yang ingin mempelajari hakikat iman hendaknya dia mendalami Kitabullah al-’Aziz dan hadits-hadits Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan merujuk kepada keterangan-keterangan yang terkandung di dalam al-Kitab dan as-Sunnah serta mengikuti penjabaran yang ada di bawah naungan keduanya itulah dia akan bisa mempelajari keimanan. Allah jalla wa ‘ala berfirman kepada Rasul-Nya yang mulia ‘alaihis sholatu was salam (yang artinya), “Demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh dari perintah Kami, sebelumnya kamu tidak mengetahui apa itu Kitab, dan apa pula iman, akan tetapi Kami menjadikannya sebagai cahaya yang Kami gunakan untuk menunjuki siapa saja yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Sesungguhnya kamu benar-benar menunjukkan kepada jalan yang lurus.” (Qs. as-Syura: 52). Dengan al-Kitab dan as-Sunnah serta penjabaran yang berada di bawah naungan keduanya itulah seorang mukmin akan bisa mempelajari keimanan dengan benar. Maka sungguh besar kebutuhan kita -wahai hamba-hamba Allah- untuk mempelajari iman dan menimba ajaran-ajarannya sebagaimana yang terkandung dalam hadits-hadits Rasul yang mulia ‘alaihis sholatu was salam dan senantiasa mengikuti bimbingan firman-firman Allah tabaraka wa ta’ala.

Saya ingin mengajak kalian -wahai saudara-saudaraku- untuk merenung barang sejenak mengenai perkara yang sangat penting yang semestinya kita perhatikan melalui beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan perihal iman. Di antara hadits-hadits tentang iman itu -wahai hamba-hamba Allah- adalah hadits yang tercantum di dalam kedua kitab Shahih (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, pent) dari Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu di dalam kisah kedatangan Jibril ‘alaihis salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam hadits itu disebutkan bahwa Jibril berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Beritahukanlah kepadaku tentang iman.” Kemudian beliau menjawab, “Yaitu kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa iman itu memiliki pokok-pokok utama dan asas yang kokoh yaitu enam pokok keimanan; iman kepada Allah tabaraka wa ta’ala, kepada malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari akhir, dan kepada takdir yang baik dan yang buruk. Penjelasan mengenai pokok-pokok ini bisa ditemukan secara panjang lebar di dalam buku-buku aqidah.

Di antara hadits-hadits yang berbicara tentang iman -wahai hamba-hamba Allah- adalah hadits utusan Bani Abdu Qais yang tercantum di dalam dua kitab Sahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang menceritakan bahwa utusan dari Bani Abdu Qais datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di antara daerah kami dengan daerah anda terdapat kabilah dari kalangan orang kafir Mudhar, sehingga itu membuat kami tidak bisa menemui anda kecuali hanya pada bulan haram, maka perintahkanlah kepada kami dengan pesan yang ringkas dan padat untuk kami kabarkan kepada orang-orang yang ada di belakang kami sehingga nantinya dengan itu kami bisa masuk ke dalam surga.” Maka Nabi ‘alaihis sholatu was salam bersabda, “Aku perintahkan kepada kalian untuk beriman kepada Allah.” Kemudian beliau bertanya kepada mereka, “Tahukah kalian, apa yang dimaksud dengan iman kepada Allah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman kepada Allah itu adalah kamu bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah -sembari beliau menghitungnya satu dengan jarinya- dan mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan hendaknya kalian menyerahkan seperlima dari hasil rampasan perang.”

Di dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan iman dengan amal-amal lahir. Di dalam hadits Jibril beliau menafsirkan iman dengan keyakinan-keyakinan hati. Sedangkan, di dalam hadits utusan Abdu Qais ini beliau menafsirkan iman dengan amal-amal lahir. Ini menunjukkan bahwa kedua hadits tadi menggambarkan iman itu tersusun dari keimanan dan keyakinan yang benar yang tertanam di dalam hati, dan iman juga tersusun dari amal-amal anggota badan yang berupa amal-amal yang suci serta ketaatan yang akan bisa mendekatkan diri kepada Allah. Perkara terpenting di antara unsur keimanan yang tampak itu adalah mengucapkan dua buah kalimat syahadat, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah al-Haram. Maka, ketahuilah -wahai hamba-hamba Allah- bahwa sholat adalah bagian dari iman, puasa bagian dari iman, menunaikan zakat bagian iman, haji juga bagian dari iman, bahkan seluruh perkara tadi yang meliputi rukun Islam yang lima semuanya adalah bagian iman sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima hal; syahadat la ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, bepuasa Ramadhan, haji ke Baitullah al-Haram.”

Di antara keimanan yang wajib ada -wahai hamba-hamba Allah- adalah mencintai Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengedepankan kecintaan kepadanya di atas kecintaan kepada diri sendiri atau kecintaan kepada benda-benda berharga, demikian juga di atas kecintaan kepada orang tua, anak-anak, bahkan seluruh manusia. Hal itu sebagaimana tertera di dalam dua kitab sahih dari hadits Anas radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tua, anak-anaknya, dan seluruh umat manusia.” Di dalam Sahih Bukhari diceritakan bahwa Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah sungguh anda lebih saya cintai daripada segala sesuatu kecuali diri saya sendiri.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri.” Umar radhiyallahu’anhu pun mengatakan, “Demi Allah, sungguh anda sekarang lebih saya cintai daripada diri saya sendiri.” Kemudian beliau mengatakan, “Nah, sekarang baru benar wahai Umar.” Cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah sekedar ucapan yang dilontarkan dengan lisan, akan tetapi ia harus diwujudkan dengan ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam apa saja yang beliau perintahkan, senantiasa membenarkan apa yang beliau kabarkan, serta menahan diri dari segala hal yang beliau larang dan cegah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rabb Yang Maha Mulia di dalam firman-Nya tabaraka wa ta’ala (yang artinya), “Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imran: 31)

Termasuk dalam keimanan yang wajib -wahai hamba-hamba Allah- yaitu anda mencintai kebaikan bagi saudaramu sesama mukmin sebagaimana apa yang anda sukai untuk dirimu. Maka perasaan dengki, hasad, dan dendam, itu semua merupakan perkara yang mengurangi keimanan. Sebaliknya, sudah seharusnya anda memakmurkan hati anda dengan perasaan mencintai kebaikan bagi saudara-saudaramu yang beriman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana tercantum di dalam dua kitab Sahih dan kitab hadits lainnya dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya.” Di dalam riwayat lain dengan tambahan, “Yaitu kebaikan.”

Termasuk dalam keimanan -wahai hamba-hamba Allah- adalah menjaga amanat. Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Tidak sempurna iman pada diri orang yang tidak amanah.” Amanah -wahai hamba-hamba Allah- meliputi penjagaan terhadap ajaran-ajaran agama dengan senantiasa taat kepada Rabbul ‘alamin dan menjalankan perintah-perintah-Nya tabaraka wa ta’ala serta menjauhkan diri dari larangan-larangan-Nya. Amanah itu juga mencakup hak sesama hamba Allah, yaitu dengan menjaga hak-hak sesama, menyampaikan barang-barang titipan, menjauhi pengkhianatan, meninggalkan penipuan, dan meninggalkan berbagai jenis mu’amalah tidak benar yang lain.

Termasuk dalam keimanan pula -wahai hamba-hamba Allah- adalah meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan keji dan kemungkaran. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah berzina seorang pezina ketika dia berzina dalam keadaan imannya sempurna. Tidaklah mencuri seorang pencuri ketika dia mencuri dalam keadaan imannya sempurna. Tidaklah seorang meminum khamr dalam keadaan imannya sempurna ketika dia meminumnya. Tidaklah seorang merampas barang berharga sehingga membuat orang lain menyorotkan pandangan mata mereka kepadanya ketika dia melakukannya dalam keadaan imannya sempurna.” Hadits ini menunjukkan bahwa melarutkan diri dalam kemaksiatan-kemaksiatan ini dan melakukan dosa-dosa besar ini menyebabkan berkurangnya iman wajib. Sehingga tindakan meninggalkan zina, tidak meminum khamr, tidak merampas, tidak mencuri, itu semua merupakan bagian dari keimanan yang diwajibkan oleh Allah tabaraka wa ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Barangsiapa yang melakukan salah satu di antara perkara-perkara itu maka iman wajibnya telah berkurang sesuai dengan kadar dosa yang dia lakukan dan berbanding lurus dengan tingkat kemaksiatan yang dia kerjakan.

Termasuk di dalam keimanan pula -wahai hamba-hamba Allah- adalah bertaubat kepada Allah, inabah kepada Allah, dan kembali kepada Allah. Bahkan hal ini merupakan sesuatu yang dicintai oleh Allah jalla wa ‘ala untuk dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Allah membuka pintu taubat dan inabah untuk mereka. Dia lah Yang berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas kepada dirinya sendiri: Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua jenis dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. az-Zumar: 53)

Perkara wajib yang lainnya bagi kita -wahai hamba-hamba Allah- adalah hendaknya kita menjaga keimanan ini dengan sekuat-kuatnya dan kita pelihara ia dengan sebaik-baiknya. Itulah perhiasan sejati dan keindahan hakiki. Salah satu doa yang sering dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, “Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan keimanan dan jadikanlah kami orang-orang yang memberikan petunjuk dan senantiasa berjalan di atas petunjuk.”

Aku ucapkan sebagaimana apa yang kalian dengarkan, dan aku meminta ampunan kepada Allah untuk diriku sendiri dan juga untuk segenap kaum muslimin dari segala dosa. Mintalah ampunan kepada-Nya, niscaya Dia akan mengampuni kalian. Sesungguhnya Dia lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah, Yang begitu besar kebaikannya dan begitu luas karunianya, Yang Maha Pemurah lagi Maha Memberikan kenikmatan. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa as-habihi ajma’in wa sallama tasliman katsiran.

Amma ba’du, -wahai hamba-hamba Allah- bertakwalah kepada Allah ta’ala. Selanjutnya, di antara hadits-hadits agung lainnya yang menjelaskan tentang iman adalah hadits tentang cabang-cabang keimanan. Sebuah hadits yang sangat agung dan memiliki kedudukan yang sangat mulia, sebagaimana yang tercantum di dalam dua kitab Sahih dan selain keduanya dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Iman itu tujuh puluh lebih cabang, yang tertinggi adalah ucapan la ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu merupakan cabang dari keimanan.” Hadits yang agung ini -wahai hamba-hamba Allah- menunjukkan bahwa iman itu ada yang berada di dalam hati, ada juga yang berada di lisan, dan ada pula yang berada di dalam perbuatan anggota badan. Iman yang tertinggi adalah ucapan la ilaha illallah, kalimat itu diucapkan dengan hati dalam bentuk keyakinan, dan diucapkan dengan lisan dalam bentuk lafaz dan perkataan yang disertai dengan ilmu terhadap artinya, pemahaman tentang kandungan hukumnya, serta merealisasikan maksud yang terkandung di dalamnya. Maka syahadat inilah bagian iman yang terpenting dan yang tertinggi kedudukannya.

Termasuk keimanan pula, menyingkirkan gangguan dari jalan. Sebuah amal yang dicintai Allah jalla wa ‘ala dan pelakunya akan mendapatkan pahala dengan balasan sebesar-besarnya, terlebih lagi apabila di dalam hati pelakunya terdapat perasaan mencintai kebaikan bagi saudara-saudaranya sesama orang yang beriman. Terdapat riwayat di dalam Kitab Sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ada seorang lelaki yang melewati sebuah cabang pohon yang berduri -yang tergeletak di jalan, pent- lalu dia mengatakan, ‘Aku tidak akan membiarkan benda ini tergeletak di jalan kaum muslimin agar mereka tidak tersakiti olehnya.’ Lalu dia pun menyingkirkan benda itu dari jalan, maka Allah berterima kasih atas perbuatannya itu, kemudian Allah memasukkannya ke dalam surga.”

Termasuk keimanan pula, perbuatan-perbuatan yang ada di dalam hati. Salah satu jenis perbuatan (amal) yang paling agung di dalam hati itu adalah rasa malu. Rasa malu merupakan cabang keimanan. Rasa malu yang terbesar adalah rasa malu kepada Rabbul ‘alamin dan Pencipta seluruh makhluk ini, Dzat Yang selalu melihat kamu ketika kamu dalam keadaan berdiri, Dzat Yang sama sekali tidak tersembunyi dari-Nya suatu perkara pun di bumi maupun di langit. Rasa malu kepada Allah jalla wa ‘ala, yaitu dengan menjaga kepala dan apa yang terpikir di dalamnya, menjaga perut dan apa yang masuk ke dalamnya, serta dengan mengingat kematian dan masa tua. Perasaan malu yang akan menjadikan anda selalu menjaga ketaatan kepada Allah dan menjauhkan diri dari apa-apa yang dilarang Allah tabaraka wa ta’ala kepadamu. Nabi ‘alaihis sholatu was salam bersabda, “Sesungguhnya salah satu perkara yang diperoleh manusia dari ajaran kenabian yang pertama-tama adalah adalah; apabila kamu tidak punya rasa malu maka berbuatlah sesukamu.” Apabila rasa malu ini ada pada diri manusia maka kebaikan masih ada. Apabila rasa malu itu telah tidak ada maka kebaikan pun sirna. Kita berlindung kepada Allah darinya. Renungkanlah -wahai hamba-hamba Allah- hadits-hadits tentang iman yang diriwayatkan dari Rasul yang mulia ‘alaihis sholatu was salam, bersungguh-sungguhlah dalam memahaminya, menerapkan dan beramal dengannya.

Sesungguhnya aku memohon kepada Allah jalla wa ‘ala dengan nama-nama-Nya Yang Terindah dan sifat-sifat-Nya Yang Maha tinggi untuk mewujudkan iman itu di dalam diriku dan diri kalian, semoga Allah memperindah diri kami dan diri kalian dengan perhiasan iman. Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Semoga Allah memperbaiki bagi kita agama kita, yang hal itu merupakan pokok penjaga urusan kita. Semoga Allah memperbaiki urusan dunia kita, yang dunia itu merupakan tempat penghidupan kita. Semoga Allah memperbaiki akhirat kita, yang ia merupakan tempat kembali kita. Semoga Allah menjadikan sisa hidup kita sebagai tambahan dalam segala kebaikan, dan menjadikan kematian sebagai peristirahatan bagi kita dari semua keburukan. Aku juga meminta kepada-Nya jalla wa ‘ala untuk meneguhkan kita di atas keimanan.

Ya Allah, kepada-Mu lah kami berserah diri, kepada-Mu lah kami beriman, kepada-Mu lah kami bertawakal, kepada-Mu lah kami bertaubat dan taat, dan karena pertolongan-Mu lah kami melawan musuh (agama). Kami berlindung dengan kemuliaan-Mu yang tidak ada sesembahan yang benar selain Engkau, janganlah Engkau sesatkan kami. Engkau Yang Maha Hidup dan tidak akan pernah mati, sedangkan jin dan manusia pasti mati. Sampaikanlah salawat -semoga Allah menjaga kalian- kepada imam seluruh manusia dan seorang da’i yang menyeru kepada iman, Muhammad bin Abdullah. Sebagaimana yang diperintahkan Allah kepada kalian di dalam Kitab-Nya, Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya mengucapkan salawat kepada Nabi, wahai orang-orang yang beriman sampaikanlah salawat kepadanya dan doakanlah baginya keselamatan yang sesungguhnya.” (Qs. al-Ahzab: 56). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barang siapa yang bersalawat kepadaku sekali maka Allah akan bersalawat kepadanya sepuluh kali.”

Ya Allah, limpahkanlah pujian kepada Muhammad dan kepada pengikut Muhammad sebagaimana pujian yang Engkau limpahkan kepada Ibrahim dan para pengikut Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Berkahilah Muhammad dan para pengikut Muhammad sebagaimana keberkahan yang Engkau berikan kepada Ibrahim dan pengikut Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, ridailah khulafa’ur-rasyidin para imam yang berjalan di atas petunjuk, yaitu Abu Bakar as-Shiddiq, Umar al-Faruq, Utsman Dzu an-Nurain, dan ayah dari kedua keponakan Nabi yaitu Ali. Kemudian ridailah ya Allah, para sahabat seluruhnya, para tabi’in dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat tiba. Ridailah pula kami bersama dengan mereka, berkat anugerah, kemurahan, dan kebaikan dari-Mu, wahai Dzat Yang Paling mulia di antara sosok-sosok yang termulia.

Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum muslimin. Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum muslimin. Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum muslimin. Hinakanlah syirik dan orang-orang musyrik, hancurkanlah musuh-musuh agama ini dan jagalah keutuhan wilayah agama ini, wahai Rabb alam semesta. Ya Allah, curahkanlah keamanan bagi negeri kami. Ya Allah, perbaikilah para pemimpin kami dan pemegang urusan-urusan kami dan jadikanlah pemerintah yang menguasai kami sebagai orang-orang yang senantiasa takut kepada-Mu dan bertakwa kepada-Mu serta mencari keridaan-Mu, wahai Rabb alam semesta. Ya Allah, berikanlah taufik kepada pemimpin urusan kami kepada apa yang Engkau cintai dan Engkau ridai, bantulah dia dalam kebaikan dan ketakwaan dan luruskanlah dia di dalam ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan, wahai Dzat pemilik keagungan dan kemuliaan. Ya Allah, berikanlah taufik kepada segenap pemerintah kaum muslimin untuk melaksanakan Kitab-Mu dan mengikuti Sunah Nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ya Allah, berikanlah kepada jiwa-jiwa kami ketakwaan dan sucikanlah ia, sesungguhnya Engkau adalah penguasa dan pemelihara atasnya. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu petunjuk dan ketakwaan, terjaganya kesucian, dan kecukupan.

Ya Allah, ampunilah seluruh dosa kami, yang kecil maupun yang besar, yang dulu maupun yang terakhir, yang tampak maupun yang tersembunyi. Ya Allah, ampunilah kami, ampunilah kedua orang tua kami, kaum muslimin dan muslimat, orang-orang mukmin lelaki dan perempuan, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Ya Allah, ampunilah dosa para pelaku dosa dari kalangan kaum muslimin dan terimalah taubat dari orang-orang yang bertaubat. Tetapkanlah kesehatan, kekuatan, dan keselamatan bagi keseluruhan kaum muslimin. Ya Allah, lepaskanlah kesedihan dari jiwa orang-orang yang dilanda duka di antara kaum muslimin. Bebaskanlah kesusahan orang-orang yang terlilit kesulitan, tunaikanlah hutang orang-orang yang terjerat hutang, sembuhkanlah orang-orang yang sakit di antara kami dan orang-orang sakit di kalangan kaum muslimin yang lain. Curahkanlah kasih sayang-Mu kepada orang-orang yang telah meninggal di antara kami dan kaum muslimin yang telah meninggal lainnya.

Ya Allah, damaikanlah persengketaan yang ada di antara kami, satukanlah hati-hati kami, tunjukilah kami jalan-jalan keselamatan, dan keluarkanlah kami dari berbagai kegelapan menuju cahaya. Berkahilah pendengaran dan penglihatan kami, makanan, harta, istri, dan anak keturunan kami. Jadikanlah kami senantiasa diberkahi di mana saja kami berada. Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari siksa neraka. Wahai hamba-hamba Allah, ingatlah kepada Allah niscaya Allah mengingat kalian. Bersyukurlah kepada-Nya atas nikmat-nikmat Nya niscaya Dia akan menambahkan nikmat kepada kalian. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu adalah perkara yang terbesar. Allah Maha Mengetahui apa pun yang kalian kerjakan.

***

Iman, Bertambah dan Berkurang

Sesungguhnya segala puji adalah bagi Allah. Kita memuji, meminta pertolongan, ampunan dan bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari keburukan hawa nafsu kita dan dari keburukan amal-amal kita. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Barang siapa yang disesatkan oleh-Nya maka tidak ada lagi yang bisa menunjukinya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Aku pun bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, orang yang dikasihi dan dicintai-Nya, orang yang dipercaya oleh-Nya untuk menyampaikan wahyu dan syari’at-Nya kepada umat manusia. Semoga salawat dan keselamatan terlimpah kepada beliau dan juga kepada para pengikutnya, serta para sahabatnya semua, semoga keselamatan sebanyak-banyaknya selalu tercurah kepada mereka.

Amma ba’du.
Wahai hamba-hamba Allah,

Aku wasiatkan kepada kalian dan juga kepada diriku untuk senantiasa bertakwa kepada Allah. Karena barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan menjaganya dan membimbingnya menuju kebaikan agama dan dunianya. Kemudian, ketahuilah -semoga Allah merahmati kalian- sesungguhnya perkara paling penting yang harus diperhatikan oleh setiap hamba di dalam kehidupan ini adalah keimanan. Itulah perkara paling utama yang digapai oleh jiwa dan dirasakan oleh hati. Dengan iman itulah seorang hamba akan mendapatkan ketinggian derajat di dunia dan di akhirat. Bahkan semua kebaikan di dunia dan di akhirat bergantung pada iman yang benar. Maka iman itu merupakan cita-cita terbesar, tujuan yang teragung, dan target yang paling utama. Dengan iman itulah -wahai hamba-hamba Allah- seorang hamba akan merasakan kehidupan yang baik di dua alam (dunia dan akhirat) dan akan terselamatkan dari bebagai perkara yang dibenci, keburukan, dan perkara-perkara yang berat dan menyusahkan. Dengan iman itulah akan diperoleh pemberian yang terindah dan anugerah yang maha luas. Dengan iman itulah akan diraih pahala di akhirat dan memasukkan diri ke dalam surga yang lebarnya sebagaimana lebarnya langit dan bumi. Di dalamnya terdapat kenikmatan yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terbetik di dalam hati manusia. Dengan iman itulah -wahai hamba-hamba Allah- seorang hamba akan selamat dari neraka yang siksanya sangat keras dan jurangnya sangat dalam, panasnya sangat menyakitkan. Dengan iman itulah seorang hamba akan bisa mendapatkan keberuntungan menggapai keridaan Rabbnya Yang Maha Suci, sehingga Allah tidak akan murka kepadanya selama-lamanya yang dengannya dia akan merasakan kelezatan pada hari kiamat dengan memandang wajah-Nya yang mulia tanpa ada kesempitan yang menyulitkan dan tanpa fitnah yang menyesatkan. Dengan iman itulah hati merasa tenteram, jiwa menjadi tenang, dan hati merasa ringan. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah, ingatlah sesungguhnya dengan mengingat Allah maka hati akan menjadi tenteram.” (Qs. ar-Ra’d: 28). Betapa banyak manfaat agung dan pengaruh yang penuh berkah, buah yang elok dan kebaikan yang senantiasa mengalir dari keimanan, ketika di dunia maupun kelak di akhirat. Manfaatnya begitu banyak sehingga tidak bisa kita hitung dan tidak bisa diliputi selain Alllah saja. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah ada satu jiwa yang mengetahui kenikmatan yang disembunyikan dari mereka berupa kesenangan yang akan menyejukkan hati sebagai balasan atas apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs. as-Sajdah: 17)

Wahai hamba-hamba Allah
Sesungguhnya iman merupakan sebuah pohon yang diberkahi, manfaatnya sangat besar dan faidahnya sangat melimpah serta buahnya sangat lebat. Ia memiliki tempat untuk ditanami dan mata air untuk mengairinya. Ia memilki pokok dan cabang-cabang serta buah-buahan. Adapun tempat iman itu adalah di dalam hati seorang mukmin, di dalamnya diletakkan benih-benihnya dan tumbuh darinya pokok-pokoknya, dan darinya tumbuhlah cabang dan rantingnya. Adapun mata air yang akan mengairinya adalah wahyu yang terang yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melalui mata air itulah pohon iman yang diberkahi ini akan disirami. Tidak akan ada kehidupan dan pertumbuhan baginya kecuali dengan air tersebut. Adapun pokoknya -wahai hamba-hamba Allah- adalah pokok-pokok keimanan yang enam; iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Sedangkan pokok yang tertinggi dari pokok-pokok ini adalah keimanan kepada Allah, maka itulah pokok yang paling mendasar bagi pohon yang diberkahi ini. Adapun cabang-cabangnya adalah amal-amal salih dan ketaatan yang beraneka ragam serta berbagai amal yang mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan oleh seorang mukmin berupa sholat, zakat, haji, puasa, berbuat baik, ihsan, dan lain sebagainya. Sedangkan buah-buahannya adalah semua kebaikan dan kebahagiaan yang diperoleh seorang mukmin ketika di dunia maupun di akhirat, maka itu semua merupakan buah dari keimanan dan hasil darinya. Allah berfirman (yang artinya), “Barang siapa yang melakukan amal salih baik dari kalangan lelaki maupun perempuan sedangkan dia adalah orang yang beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka lakukan.” (Qs. an-Nahl: 97)

Wahai hamba-hamba Allah
Manusia itu bertingkat-tingkat dalam hal keimanan dengan perbedaan yang sangat bervariasi tergantung dengan keberagaman mereka dalam mewujudkan sifat-sifat ini, kuat maupun lemahnya, bertambah atau berkurangnya. Oleh sebab itu sudah semestinya seorang hamba muslim yang ingin mendapatkan kebaikan bagi dirinya untuk bersungguh-sungguh dalam memahami sifat-sifat ini dan memperhatikannya kemudian menerapkannya di dalam kehidupannya agar dia semakin bertambah iman dan menguat keyakinannya dan kebaikan-kebaikannya semakin melimpah. Sebagaimana pula sudah semestinya -wahai hamba-hamba Allah- agar menjaga dirinya dari terjerumus dalam perkara-perkara yang mengurangi keimanan dan melemahkan agama, hal itu supaya nantinya dia bisa terselamatkan dari akibat buruknya dan kerugiannya yang menyakitkan.

Wahai hamba-hamba Allah
Ada banyak sebab yang bisa meningkatkan keimanan dan mengokohkannya. Yang terpenting di antaranya adalah dengan mempelajari ilmu yang bermanfaat, membaca al-Qur’an dan merenungkan isinya, mengenal nama-nama Allah yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi serta memperhatikan keelokan agama Islam yang hanif ini serta mempelajari sejarah perjalanan hidup Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejarah para sahabatnya yang mulia. Dan dengan memperhatikan dan meneliti alam raya yang luas ini dan berbagai penunjukan yang jelas di dalamnya serta hujjah-hujjah yang gamblang dan bukti-bukti yang terang. “Wahai Rabb kami, sama sekali Engkau tidak menciptakan ini semua dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka jagalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Ali Imran). Sebagaimana pula iman itu bertambah dengan kesungguhan dan usaha keras dalam melakukan ketaatan kepada Allah serta menjaga perintah-perintah-Nya dan memelihara waktu di dalam ketaatan kepada-Nya serta melakukan hal-hal yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya. “Orang-orang yang bersungguh-sungguh di atas jalan Kami maka Kami akan tunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju keridaan Kami. Sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. al-’Ankabut: 69)

Wahai hamba-hamba Allah
Sesungguhnya di sisi lain ada juga perkara-perkara lain yang dapat mengurangi dan melemahkan keimanan. Wajib bagi setiap hamba yang beriman untuk melindungi dirinya agar tidak terseret ke sana dan berusaha berhati-hati untuk tidak terjerumus di dalamnya. Salah satu sebab utamanya adalah karena kebodohan tentang agama Allah, kelalaian, berpaling dari ketaatan, melakukan kemaksiatan-kemaksiatan, berkubang dosa, menuruti keinginan nafsu yang mengajak kepada keburukan, bergaul dengan orang-orang fasik dan gemar berbuat dosa, mengikuti hawa nafsu dan syaitan, tertipu oleh kesenangan dunia dan terfitnah olehnya sehingga hal itu membuat dunia itulah yang menjadi puncak angan-angan seorang manusia dan tujuan hidupnya yang paling utama.

Wahai hamba-hamba Allah
Ketika para pendahulu umat ini dan generasi pertamanya beserta orang-orang pilihan di antara mereka menyadari keagungan iman ini dan merasakan betapa besar kebutuhan mereka kepadanya lebih daripada kebutuhan kepada makanan dan minuman serta udara untuk bernafas maka perhatian mereka kepadanya juga sangat besar dan lebih didahulukan daripada semua urusan. Dahulu mereka berusaha sekuat tenaga untuk memelihara iman mereka, memeriksa amal-amal mereka, dan saling menasihati di antara mereka. Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu mengatakan kepada para sahabatnya, “Marilah, kita berkumpul sejenak untuk meningkatkan iman.” Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Duduklah bersama kami sejenak, kita akan menambah keimanan.” Beliau juga sering mengatakan di dalam doanya, “Ya Allah, tambahkanlah kepada kami iman, keyakinan, dan kepahaman.” Abdullah bin Rawahah radhiyallahu’anhu memegang tangan sekelompok orang dari para sahabatnya seraya mengatakan, “Marilah, kita beriman barang sejenak. Marilah, kita mengingat Allah dan menambah keimanan dengan ketaatan kepada-Nya semoga Allah mengingat kita dengan ampunan-Nya.” Abud Darda’ radhiyallahu’anhu mengatakan, “Salah satu bukti kepahaman seorang hamba adalah ketika dia mengetahui apakah dia sedang menambah atau mengurangi.” Maksudnya adalah iman. “Dan bukti kepahaman seseorang ialah tatkala dia mengetahui dari manakah datangnya bujukan syaitan kepadanya.” Umair bin Habib al-Khazhami radhiyallahu’anhu mengatakan, “Iman itu bertambah dan berkurang.” Maka ada orang yang bertanya kepada beliau, “Apa yang dimaksud dengan bertambah dan berkurangnya?” Beliau menjawab, “Apabila kita mengingat Allah ‘azza wa jala dan memuji-Nya dan menyucikan-Nya maka itulah pertambahannya. Dan apabila kita lalai, menyia-nyiakan dan lupa maka itulah berkurangnya.” Nukilan-nukilan dari mereka tentang perkara ini banyak sekali.

Wahai hamba-hamba Allah
Oleh karena itulah, sesungguhnya seorang hamba beriman yang diberi taufik akan senantiasa berusaha di dalam hidupnya untuk mewujudkan dua perkara yang agung dan tujuan yang mulia. Pertama: memperkuat keimanan dan cabang-cabangnya serta menggapainya dengan sungguh-sungguh dalam bentuk ilmu maupun amalan. Dan yang kedua: berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan hal-hal yang dapat meniadakan atau membatalkan serta menguranginya berupa fitnah-fitnah yang tampak maupun yang tersembunyi dan berusaha untuk mengobati kekurangannya pada perkara yang pertama (kekurangan dalam memperkuat iman) serta mengobati perkara yang telah dilanggarnya dari perkara yang kedua (menepis pengikis keimanan) dengan cara bertaubat dengan tulus dan murni, mengejar amal sebelum waktunya lenyap, dan menghadapkan diri kepada Allah jalla wa ‘ala dengan sepenuhnya dan hati yang jujur ingin kembali taat kepada-Nya, jiwa yang merendah dan penuh ketenangan, patuh secara penuh kepada Allah, mengharapkan rahmat Allah dan takut akan hukuman-Nya. Maka kita meminta kepada Allah Yang Maha Mulia dengan nama-nama-Nya yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua untuk bisa merealisasikan itu semua dan menyempurnakannya sebagaimana yang diridai oleh-Nya bagi kita. Semoga Allah melimpahkan kepada kita semua rezeki berupa keimanan yang jujur dan keyakinan yang sempurna, taubat yang tulus. Dan semoga Allah mengampuni kita, kedua orang tua kita, kaum muslimin lelaki dan perempuan, kaum mukminin lelaki dan perempuan. Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah. Yang telah memberikan kebaikan yang sangat besar dan keutamaan yang sangat luas, yang maha pemurah lagi mencurahkan kenikmatan. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah semata tiada sekutu bagi-Nya. Aku pun bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya semoga salawat tercurah kepadanya dan kepada pengikutnya, para sahabatnya semua, beserta keselamatan sebanyak-banyaknya semoga terlimpah kepada mereka.

Amma ba’du.

Wahai hamba-hamba Allah, aku wasiatkan kepada kalian dan diriku untuk tetap bertakwa kepada Allah. Karena sesungguhnya ketakwaan kepada Allah jalla wa ‘ala adalah asas keberhasilan dan alamat kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Ketakwaan kepada Allah jalla wa ‘ala yaitu dengan cara seorang hamba melakukan amal ketaatan di atas cahaya dari Allah dan mengharapkan pahala dari Allah serta dengan meninggalkan kemaksiatan ke[ada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut akan hukuman Allah. Wahai hamba-hamba Allah, al-Hakim di dalam Mustadrak-nya dan at-Thabrani di dalam Mu’jam Kabir-nya meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhuma, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya iman akan usang di rongga salah seorang dari kalian sebagaimana halnya pakaian, maka mintalah kepada Allah agar memperbaharui iman di dalam hati kalian.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan sifat iman itu bisa usang sebagaimana halnya pakaian, maksudnya ia bisa menjadi usang dan lemah dan bisa dimasuki oleh kekurangan akibat perbuatan apa saja yang dilakukan oleh manusia, yang berupa kemaksiatan, dosa serta apa pun yang ditemui olehnya di dalam kehidupan ini berupa hal-hal yang melalaikan yang beraneka ragam, fitnah-fitnah yang besar, sehingga dapat menghilangkan kekuatan iman, kehidupannya, dan kekokohannya, sehingga memperlemah keindahan, keelokan, dan kemegahannya. Oleh sebab itulah maka Nabi ‘alaihis sholatu was salam membimbing kita di dalam hadits yang agung ini agar selalu menjaga dan memelihara keimanan dan amal agar kuat dan meminta kepada Allah tabaraka wa ta’ala untuk menambahkan iman itu dan menetapkannya. Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “Akan tetapi Allah lah yang membuat kalian senang kepada iman dan memperindahnya di dalam hati kalian, dan membuat kalian benci kepada kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan. Mereka itulah orang-orang yang lurus.” (Qs. al-Hujurat). Maka termasuk kebaikan -wahai hamba-hamba Allah- termasuk kebaikan bagi seorang hamba yang beriman untuk menasihati dirinya sendiri demi kebaikan imannya yang itu merupakan harta paling berharga padanya dan sesuatu yang paling mahal miliknya, itulah bekal terbaik untuk berjumpa dengan Allah.

Orang yang cerdik -wahai hamba-hamba Allah- adalah orang yang menundukkan nafsunya dan beramal untuk menyambut apa yang akan terjadi setelah kematian. Sedangkan orang yang tidak mampu itu adalah orang yang membiarkan diri memperturutkan hawa nafsunya dan mengangankan berbagai keinginan kepada Allah. Ucapkanlah salawat dan salam kepada Muhammad bin Abdullah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian di dalam Kitab-Nya, Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya mengucapkan salawat kepada Nabi, hai orang-orang yang beriman ucapkanlah salawat kepadanya dan doakanlah keselamatan untuknya.” (Qs. al-Ahzab). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barang siapa yang bersalawat kepadaku sekali maka Allah akan mengucapkan salawat kepadanya sepuluh kali.” Terdapat pula perintah dan dorongan dari beliau ‘alaihis sholatu was salam untuk memperbanyak salawat dan doa keselamatan untuknya pada malam Jum’at dan di siang hari Jum’at, maka perbanyaklah pada hari yang cerah dan diberkahi ini dengan mengucapkan salawat dan doa keselamatan bagi Rasulullah. Ya Allah, curahkanlah pujian kepada Muhammad dan kepada pengikut Muhammad sebagaimana Engkau telah memuji Ibrahim dan pengikut Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Berkahilah Muhammad dan pengikut Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan pengikut Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Dan ridailah ya Allah, para khulafa’ur rasyidin para iman yang berjalan di atas petunjuk yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Dan ridailah ya Allah, seluruh para sahabat dan para tabi’in serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat dan ridailah kami bersama mereka dengan karunia-Mu dan kemurahan serta kebaikan dari-Mu wahai Dzat Yang Termulia di antara sosok-sosok yang paling mulia. Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum muslimin. Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum muslimin. Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum muslimin. Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum muslimin. Hinakanlah syirik dan kaum musyrikin dan hancurkanlah musuh-musuh agama. Ya Allah, tolonglah orang-orang yang menolong agama ini. Ya Allah belalah agama-Mu ini, Kitab-Mu, dan Sunah nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ya Allah tolonglah saudara-saudara kami kaum muslimin di semua tempat. Ya Allah tolonglah mereka yang ada di Palestina dan di mana saja mereka berada. Ya Allah, tolonglah mereka dengan sekuat-kuatnya. Ya Allah, jagalah mereka dengan penjagaan dari-Mu dan kuatkanlah mereka dengan kekuatan-Mu dan peliharalah mereka dengan bimbingan dari-Mu dan perhatian-Mu wahai Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri. Ya Allah, hukumlah Yahudi yang telah merampas negeri kaum muslimin, yang melanggar batas, sesungguhnya mereka sama sekali tidak bisa melawan diri-Mu. Ya Allah, porak-porandakanlah mereka dengan sehancur-hancurnya. Ya Allah, buatlah hati mereka saling memusuhi dan rusakkanlah persatuan mereka, dan jadikanlah untuk mereka kekalahan yang buruk wahai Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri, wahai Yang Maha Perkasa. Ya Allah, berikanlah keamanan di negeri-negeri kami dan perbaikilah para pemimpin kami dan orang-orang yang menguasai urusan-urusan kami dan berikanlah tampuk pemerintah kami kepada orang-orang yang takut kepada-Mu dan bertakwa kepada-Mu serta mengikuti keridaan-Mu wahai Rabb alam semesta. Ya Allah, berikanlah taufik kepada pemegang urusan kami untuk melakukan apa yang Engkau cintai dan ridai, dan bantulah dia untuk melakukan kebaikan dan takwa dan luruskanlah dia di dalam ucapan-ucapan dan amal-amalnya, dan anugerahkanlah kepadanya kesehatan dan keselamatan, berikanlah kepadanya rezeki berupa pembantu-pembantu yang baik yang menunjukkannya kepada kebaikan dan menolongnya untuk itu. Ya Allah, berikanlah taufik kepada segenap para pemimpin kaum muslimin untuk melaksanakan isi Kitab-Mu dan mengikuti Sunah Nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jadikanlah mereka lembut dan mengasihi hamba-hamba-Mu yang beriman. Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada jiwa-jiwa kami. Sucikanlah ia, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik penyuci baginya. Engkau lah penguasa dan penjaganya. Ya Allah, kami meminta kepada-Mu iman yang jujur, keyakinan yang kokoh, taubat yang tulus. Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kehormatan, dan kecukupan diri. Ya Allah, perbaikilah bagi kami agama kami yang itu merupakan penjaga bagi urusan kami. Perbaikilah dunia kami yang itu merupakan tempat penghidupan kami. Perbaikilah bagi kami akhirat kami yang itu merupakan tempat kembali kami dan jadikanlah kehidupan yang masih tersisa sebagai tambahan bagi kami dalam semua kebaikan, dan jadikanlah kematian sebagai perhentian bagi kami dari semua keburukan. Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu surga dan hal-hal yang dapat mendekatkan diri ke sana berupa ucapan maupu perbuatan. Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka dan apa saja yang menyeret ke sana berupa ucapan maupun perbuatan. Ya Allah, damaikanlah perselisihan yang ada di antara kami, satukanlah hati-hati kami, dan tunjukilah kami jalan-jalan keselamatan dan keluarkanlah kami dari berbagai kegelapan menuju cahaya. Berkahilah harta-harta kami, waktu-waktu kami, istri-istri kami, anak-anak keturunan kami dan jadikanlah kami diberkahi di mana saja kami berada. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami semuanya, yang kecil maupun yang besar, yang awal maupun yang akhir, yang tersembunyi maupun yang tampak. Ya Allah, ampunilah kesalahan yang dulu telah kami lakukan dan belum kami lakukan, yang kami sembunyikan maupun yang kami tampakkan dan kesalahan-kesalahan lainnya yang engkau tentu lebih mengetahui tentangnya daripada kami. Engkaulah Yang mendahulukan dan engkaulah Yang mengakhirkan. Tidak ada sesembahan yang benar selain Engkau. Ya Allah, ampunilah dosa orang-orang yang melakukan dosa dan terimalah taubat orang yang bertaubat dan tetapkanlah kesehatan, keselamatan, dan kebaikan bagi keseluruhan kaum muslimin. Ya Allah, berikanlah jalan keluar bagi kesedihan orang yang dilanda duka di antara kaum muslimin dan lepaskanlah kesulitan orang-orang yang tertimpa kesulitan, dan tunaikanlah hutang orang-orang yang terlilit hutang, dan sembuhkanlah orang-orang yang sakit di antara kami dan yang sakit di antara kaum muslimin yang lain. Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami telah menganiaya diri kami sendiri maka apabila Engkau tidak mengampuni dan menyayangi kami niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi. Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari siksa neraka.

Wahai hamba-hamba Allah
Ingatlah kepada Allah Yang Maha Agung niscaya Dia akan mengingat kalian. Dan bersyukurlah kepada-Nya atas nikmat-ikmat yang diberikan-Nya kepada kalian niscaya Dia akan menambahkan nikmat kepada kalian. Sungguh mengingat Allah itulah yang terbesar. Allah Maha Mengetahui apa pun yang kalian kerjakan.


خطبة الجمعة ليوم 9/5/1428هـ
بعنوان: الإيمان وأسباب زيادته ونقصان

Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-’Abbad

***